Dokumen Abu Dhabi Jadi Titik Tolak Seminar Pemuka Agama Papua

Uskup Jayapura Leo Laba Ladjar, OFM /Istimewa

JAYAPURA,wartaplus.com-Deklarasi bersama antara Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al-Azhar Syeikh Ahmad Al-Tayyeb tentang “Persaudaraan Insani Demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” yang ditandatangani di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 4 Februari 2019  yang dikenal dengan “Dokumen Abu Dhabi” menjadi titik tolak seminar sehari para pemuka dan pemimpin agama-agama Papua yang berlangsung di Jayapura, Selasa (4/2).

Seminar dalam rangka menyongsong Hari Pekabaran Injil  di Tanah Papua  yang  ke -165 (5 Februari 1855 – 2020)  itu,  didahului dengan pemaparan tentang  cikal-bakal dan latarbelakang gagasan  lahirnya Dokumen Abu Dhabi  oleh Uskup Leo Laba Ladjar,OFM.

Menurut Uskup Leo, komitmen yang dibangun bersama antara dua pemimpin umat beragama Paus Fransikus dan Syeikh Ahmad Al-Tayyeb menyatakan bahwa  kedua belah pihak,Al-Azhar al-Sharif dan kaum muslim bersama gereja katolik dan umat katolik  menerima budaya dialog sebagai jalan, kerja sama timbal-balik sebagai kode tingkah laku, saling pengertian sebagai metode dan standar, demi mewujudkan nilai-nilai luhur itu: secara khusus persaudaraan insani, kebebasan, keadilan dan belas kasih.

Kepada para pemimpin dunia  serta arsitek kebijakan internasional dan ekonomi dunia diserukan agar bekerja keras dan menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai, dan agar secepatnya berintervensi untuk mencegah dan menghentikan penumpahan darah dan mengakhiri perang, serta segala bentuk kekerasan, dan pengrusakan lingkungan, moral dan budaya.

Selain itu, kepada kaum intelektual, tokoh agama, budayawan dan penggiat media diserukan untuk menemukan kembali nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebaikan, keindahan, persaudaraan manusia dan hidup berdampingan.  

Menanggapi dokumen yang bersejarah dan amat penting bagi perdamaian umat manusia khususnya di Tanah Papua, tokoh Muslim Papua, Dr Eko Siswanto, MHI, mengatakan, persaudaraan dibangun atas dasar kepentingan bersama untuk mewujudkan Papua Tanah Damai.

“Mewujudkan kerukunan dalam kebhinekaan tidaklah mudah. Maka dibutuhkan manajemen pengelolaan kerjasama nyata untuk kebaikan bersama,” kata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Papua itu..

Prinsipnya, lanjut staf pengajar IAIN Fattahul Mulk,Papua itu, kita membangun satu kondisi hidup bersama yang pluralis, tidak saling mempersalahkan dan mengakui bahwa kita memang berbeda tetapi tetap satu dalam kehidupan bersama.Kecurigaan harus hilang di antara kita sembari terus membangun hubungan antaragama dengan menjauhi suasana disharmoni antarpemeluk agama.

Papua patut  bersyukur, tidak terjadi konflik antaragama di Bumi Cenderawasih ini. Hal yang baik ini kurang dipublikasikan sehingga dunia tidak mengetahui bahwa di tanah ini kerukunan hidup antarumat beragama terus dirajut dengan baik dari hari ke hari.

Ikut memberikan tanggapan atas Dokumen Abu Dhabi,  tokoh Muhammadiyah Papua, Prof. Dr.H.R. Partino,  tokoh Gereja  Kristen Pdt Bastian  Nanlohy,M.Th, tokoh umat Budha Upasaka Pandita Aan Djamian dan tokoh umat Hindu, Ida Bagus.

Seminar sehari mendiskusikan Dokumen Abu Dhabi ini digelar atas kerjasama Forum Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP)  dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua. Seminar ini dibuka secara resmi oleh Ketua Umum FKUB Provinsi Papua, Pdt Lypius Biniluk.

“Membangun perdamaian bersama membutuhkan komunikasi yang terus-menerus tanpa kenal lelah. Terimakasih atas kepedulian anda semua untuk mengupayakan perdamaian di Papua bahkan seluruh Indonesia dan seluruh dunia,” kata Lypius.

Seluruh “lalulintas”  diskusi selama  berlangsungnya seminar yang membahas upaya perdamaian dan hidup bersaudara ini  dipandu staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat -Teologi (STFT)  “Fajar Timur”, Pastor Konstant Bahang,OFM yang selama ini dikenal  ikut  aktif dalam berbagai kegiatan bersama  antarumat beragama yang mengusung tema “perdamaian dan persaudaraan  sejati di Tanah Papua”. 

Tanggal 5 Februari merupakan hari yang bersejarah dalam Pekabaran Injil di Tanah Papua. Sejak tahun 2002, para pemimpin agama yang bukan Kristen, turut bersama  saudara-saudaranya umat Kristen dalam kegiatan-kegiatan perayaan Hari Pekabaran Injil, saqlah satu di antaranya adalah ambil bagian dalam seminar dan diskusi bersama.

Menurut Uskup Leo Laba Ladjar, OFM, keikutsertaan mereka bukan hanya tanda solidaritas, tetapi karena kerinduan kita bersama untuk membangun persekutuan, kerukunan dan damai menuju terwujdnya Papua Tanah Damai.

“Hari Pekabaran Injil 5 Februari, merupakan saat yang tepat untuk itu, karena bukankah inti Injil ialah syalom, salam, Damai Sejahtera yang kita semua rindukan?” kata Uskup Leo Laba Ladjar,OFM.*