MANOKWARI-Berdasarkan sisi hukum, Direktur LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy, SH meminta agar pemerintah Indonesia harus berkata jujur dalam menempatkan posisi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai kelompok pemberontak.
"Jadi bukan lagi disebut atau diberi label sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB). Hal ini sesuai status Tanah Papua dan rakyat Papua yang diakui secara hukum sebagai komunitas sosial yang memiliki latar belakang sejarah sendiri" ungkap Warinussy, Senin (30/12).
Perkembangan situasi politik dan keamanan di Tanah Papua secara umum pasca peristiwa penolakan rasisme dan diskriminasi. Khususnya di kawasan pegunungan tengah Papua. Ini menjadi landasan soal yang menurut pandangan saya dari sisi hukum, pemerintah Indonesia sudah waktunya jujur menempatka posisi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) sebagai kelompok pemberontak.
Didalam bagian konsideran menimbang huruf e UU RI No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Hal ini menjadi semakin jelas disebutkan dalam penjelasan UU Otsus Papua yaitu pada alinea ketiga yang berbunyi.
"Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan" katanya.
Untuk itu, Warinussy sudah waktunya Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo memberi pengakuan sejujurnya bahwa di Tanah Papua ada kelompok pemberontak yang mengangkat senjata dan senantiasa melawan negara selama ini, karena memiliki perbedaan pendapat mengenai integrasi Tanah Papua ke dalam NKRI sejak 1 Mei 1963.
Lebih lanjut, ini akan menjadi langkah penting untuk memulai persiapan ke arah terjadi dialog dan atau perundingan yang damai demi penyelesaian konflik sosial politik di Tanah Papua tersebut.
Dengan posisi sebagai pemerintah Indonesia dan TPN PB selaku kaum pemberontak, maka kemungkinan dilakukannya gencatan senjata sangat besar. Sehingga korban di pihak rakyat sipil Papua yang diperkirakan mencapai ratusan ribu jiwa sejak 1961 hingga kini dapat menjadi fakta bagi dimulainya dialog dan atau perundingan damai tersebut.
Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja, SH, L.LM dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, Buku I: Bagian Umum, cetakan keempat tahun 1982, halaman 103-104.
"Akhir-akhir ini timbul perkembangan baru yang walaupun mirip dengan pengakuan status pihak yang bersengketa dalam perang, memiliki ciri lain yang khas, yakni pengakuan terhadap gerakan-gerakan pembebasan seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO)." Tambah Warinussy.
Hal mana didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti hak menentukan nasib sendiri. Itu sebagaimana terdapat dalam aksi-aksi kekerasan bersenjata yang selama lebih dari 50 tahun dilakukab oleh TPN PB.
Dimana simbol-simbol Papua seperti bendera Bintang Pagi (thr Morning Star) atau Bintang Kejora senantiasa dibawa. Bahkan dalam setiap kali terjadi operasi keamanan oleh Polri maupun TNI dan menemukan senjata api pasti disertai bendera bintang kejora tersebut.
"Jadi simbol separatis jelas nampak dan telah menjadi fakta yang tal bisa disangkal lagi. Oleh sebab itu, pemberian label kriminal kepada TPN PB sudah mesti diganti dengan label pemberontak. Sehingga hukum humaniter berlaku untuk mengatur konflik bersenjata di Tanah Papua ke depan" ujarnya.
Ia mengatakan sekaligus memberi posisi yang jelas bagi negara di satu pihak dan TPN PB sebagai kelompok pemberontak di sisi lainnya. Dengan demikian masyarakat sipil di Tanah Papua akan semakin aman dan terhindar dari tindakan kekerasan yang terjadi diantara kedua belah pihak diatas.
"Atau dengan kata lain, masyarakat sipil di Tanah Papua, seperti halnya di Nduga dan atau Sugapa-Intan Jaya atau di Tanah Papua secara umum tidak lagi menjadi korban sia-sia seperti tertembaknya Hendrik Lokbere di Kenyam-Nduga (20/12) lalu,"ujarnya.*