JAYAPURA-Komnas HAM Perwakilan Papua menyebut, ditahun 2019, kelompok perusuh termasuk keterlibatan kelompok lain idiologi sebagai pelaku pelanggar HAM. Frits Ramandey, Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua menyebut kondisi tersebut berbalik pada tahun sebelumnya ditahun 2015 -2018.
"Jadi ditahun ini, dalam konteks di Papua, pelanggaran itu malah dilakukan oleh kelompok-kelompok itu secara massal. Mereka yang melalukan pengrusakan dan lainnya, itu diangka 47 persen, selanjutnya kepolisian diurutan kedua dengan 25, pemda 18, TNI 6 pengaduan, "kata Frits, kepada awak media sesaat setelah kegiatan peringatan Hari HAM Sedunia, Selasa (10/12).
Angka yang dilanggar, kata dia adalah soal hak hidup yang paling banyak di langgar. Selanjutnya adalah hak atas pendidikan, dan hak para tersangka diurutan ketiga.
"Jadi angka ini berubah-ubah. Ditahun 2019, mengalami kenaikan yang luar biasa, mencapai 154 pengaduan, yang terdiri dari pengaduan langsung 59, dan sisanya pro aktif oleh Komnas HAM. Angka ini menunjukkan situasi HAM di Papua yang memprihatinkan, karena naik signifikan dari tahun sebelumnya,"ungkap Frits.
Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua , Frist Bernard Ramandey/Roberth
Kenaikan angka pelanggaran HAM tersebut terjadi atas adanya kerusuhan kasus rasis pada akhir Agustus lalu, yang kemudian berakibat pada pelanggaran HAM dari semua segi kehidupan sosial budaya.
"Isu rasis itu yang membuat tinggi. Dan kasus itu menarik pelanggaran-pelanggaran lain, seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya. Sehingga angka aduan atas pelanggaran HAM di tahun 2019 meningkat,"katanya.
Pihaknya meminta segera dilakukan rekonsiliasi atas kasus yang hingga menelan puluhan korban jiwa di Wamena Kabupaten Jayawijaya itu.
"Dari hasil pemantauan Komnas HAM di 11 Kabupaten di seluruh Indonesia yang ada gejolak itu, kami melihat ada potensi, jika tidak segera di rekonsiliasi maka itu bisa kembali terjadi. Itu kekhawatiran kami, sehingga upaya rekonsiliasi itu penting,"pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Provinsi Papua Dr KH Toni VM Wanggai yang menjadi pemateri kunci dalam kegiatan tersebut memberikan pandangan terhadap ujaran rasis dan upaya rekonsiliasi damai di Bumi Cenderawasih.
Diantaranya, mendorong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM Ad-Hoc sesuai amanah UU Otsus tahun 2001, mendorong penyelesaian persoalan Papua dengan pendekatan budaya, dialogis, dan kemanusiaan.
Lalu, mendorong pengesahaan RUU Otsus Pemerintah Papua Bagi Tanah Papua yang telah didaftarkan dalam Prolegnas DPR-RI Tahun 2020 sebagai usulan Pemerintah.
"Mendorong pembentukan Badan Nasional Urusan Papua untuk menyelesaikan persoalan Papua secara komprehensif, mendorong konsolidasi antarsemua stakeholder, serta proses rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM dan pembentukan tim investigasi sehubungan dengan Kasus Nduga," kata Toni.*