JAYAPURA - Kerusakan lingkungan hidup tak berhenti pada hilangnya keragaman hayati, tapi juga meyentuh berbagai aspek lingkungan lainnya termasuk ancaman perubahan iklim. Kerusakan hutan yang mendatangkan banjir bandang merusak ekosistem dan penghidupan masyarakat lokal dapat saja terjadi bila pengelolaan hutan tidak dilakukan secara optimal.
Untuk mengatasi itu, pendekatan budaya menjadi salah satu jawaban yang dapat diterapkan dan diterima masyarakat di Tanah Papua. Hal ini menjadi pembahasan dalam talk show bertajuk “Ekologi Papua dan Krisis Iklim” dalam rangkaian acara School of Eco Diplomacy (SED) tingkat dasar yang digelar di Grand Abe Hotel, Rabu (13/11).
SED terselenggara atas kerja sama Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kehutanan, Universitas Cendrawasih, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Forum Komunitas Papua-Rumah Bakau Jayapura, serta Yayasan EcoNusa.
Hadir dalam acara tersebut Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kota Jayapura Yohanes Sugeng Huik, Kasubag Evaluasi Pelaporan Data dan Hubungan Masyarakat, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Paulus Baibaba, Pembantu Rektor III Universitas Cendrawasih Jonathan Wororomi, Dosen Prodi Pendidikan Geografi Universitas Cendrawasih Yehuda Hamokwarong, dan warga Kampung Sereh, Sentani, Yesaya Eluay.
“Saat hutan rusak bukan hanya pohon yang hilang atau banjir, tapi juga proses interaksi lingkungan dan aspek sosial, budaya. Ini cukup complicated,” kata Pembantu Rektor III Universitas Cendrawasih,Jonathan Waromi
Sedangkan Warga Kampung Sereh Sentani, Yesaya menuturkan, Pegunungan Cycloops rusak akibat aktivitas perkebunan. Masyarakat berkebun pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Menurut Yesaya, banyak pohon besar telah tumbang, berganti menjadi perkebunan masyarakat. Hal itu juga berdampak pada sumber mata air. Dari 124 mata air kini hanya tersisa 5 mata air yang masih mengalir.
“Cycloops dulu dingin sekali. Embunnya tebal dan baju basah. Masuk ke dalam pakai senter kalau pagi hari (pukul 4) tapi sekarang sudah terang. Pohon besar dan kami takut-takut. Sekarang sudah tidak ada. Cycloops juga sudah longsor seperti itu. Banjir kemarin rumah saya kena dan dua anak tewas. Saya kalau bicara cagar alam saja sedih,” ucap Yesaya.
Dosen Prodi Pendidikan Geografi Universitas Cendrawasih, Yehuda Hamokwarong menjelaskan, pendekatan budaya dapat menjadi salah satu jalan untuk mengatasi persoalan lingkungan yang terjadi di Papua.
Banjir bandang yang terjadi di Sentani pada Maret 2019 lalu, menurut Yehuda, terjadi antara benturan budaya Suku Tabi dan Lapago. Suku Tabi memandang daerah Pegunungan Cycloops sebagai tempat untuk bersyukur dan berdoa. Sementara itu, Suku Lapago menempatkan kawasan cagar alam itu sebagai tempat mencari penghidupan.
“Ini bisa diatasi dengan melakukan pendekatan budaya. Misalnya masyarakat yang berkebun di atas (Pegunungan Cycloops) dapat diarahkan berkebun di daerah penyangga,” kata Yehuda.
Perwakilan BBKSDA, Paulus Baibaba mengatakan, cagar alam Pegunungan Cycloops didiami oleh lima suku berbeda. Perbedaan adat dan etika pada pemegang hak ulayat perlu dipahami oleh pemerintah daerah untuk memudahkan pengelolaan cagar alam.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kota Jayapura, Yohanes Sugeng Huik memandang generasi muda memiliki peran besar dalam upaya melestarikan sumber daya alam dan melindungi masyarakat. Dia berharap program SED dapat membawa perubahan kepada setiap peserta dan lingkungan sekitar. “Ketika kita mencintai alam, maka alam akan lebih mencintai kita,” katanya.**