MANOKWARI- Pertemuan 61 tokoh Papua yang mengatasnama tokoh adat atau kepala suku Papua dan Papua Barat dengan Presiden Joko Widodo di Istana, Jakarta patut dipertanyakan.
Lembaga kultur Majelis Rakyat Papua (MRP-PB) di Provinsi Papua Barat sebagai lembaga representasi orang asli Papua di Papua Barat tidak mengakui pertemuan tersebut.
Ketua MRP-PB, Maxsi Nelson Ahoren menyatakan bahwa pertemuan 61 tokoh Papua di Istana Jakarta adalah ilegal. Alasannya sangat sederhana, yakni belum ada pertemuan dua pemerintahan di tanah Papua, termasuk didalamnya melibatkan antara tokoh asli adat Papua di wilayah adat Papua dan Papua Barat, MRP Papua, Papua Barat, DPR Papua, Papua Barat.
Serta petinggi TNI Polri dalam hal ini Pangdam Kasuari Papua Barat, Pangdam Cenderawasih Papua, Polda Papua Barat, dan Polda Papua.
“ Artinya pertemuan di tanah Papua belum terlaksana, namun sudah ada tokoh yang mengatasnama kepala suku dan bertemu Presiden,” ujar Ahoren kepada wartawan di Manokwari, Rabu (11/9)
Padahal, kata dia, akar masalahnya adalah unjuk rasa yang berujung pada rusuh di tanah Papua pada 19 Agustus lalu.
Setelah ada penyamaan persepsi untuk disatukan dalam aspirasi di tanah Papua tentang masalah kata rasisme, lalu dijadwalkan untuk bertemu Presiden Jokowi untuk disampaikan secara resm
Menurut Ahoren, para tokoh yang mengklaim kepala suku dan bertemu presiden belum tahu darimana saja, bahkan agenda pertemuan itu jauh dari konteks permasalahan yang kini terjadi.
Salah satu poin adalah membahas pemekaran. Oleh karena itu, secara lembaga kultur ia menyatakan pertemuan itu ilegal. Sebelumnya, kata dia, sudah ada pembicaraan tingkat dua pemerintahan di tanah Papua untuk diagendakan bertemu Presiden.
Apalagi menurutnya, pertemuan itu tanpa diketahui gubernur, DPR dan MRP di tanah Papua. Secara lembaga, Ahoren mengaku baru mengetahui pertemuan 61 tokoh Papua bersama presiden melalui media online dan televisi.
Dia menegaskan bahwa sekelompok orang yang bertemu Presiden merupakan kelompok yang mengatasnama lembaga adat di tanah Papua. Untuk itu, MRP sangat menyesali pertemuan itu karena tanpa koordinasi dengan pihak MRP- PB.
Lebih jauh katanya, 10 poin tentang pertemuan itu tidak berdasar, sebab saat ini bukan membahas tentang pemekaran di Papua dan Papua Barat, termasuk pembangunan Istana presiden di Papua.
Subtansi masalah adalah pembakaran fasilitas umum pasca-aksi massa pada 19 Agustus lalu, bahkan sampai sekarang masih ada demo sana sini. Itu artinya di daerah belum kondusif, namun ada saja kelompok mengatasnama bertemu Presiden tanpa diketahui pemerintah daerah.
"Jadi keinginan rakyat Papua saat ini adalah dialog Papua dan Indonesia, bahkan salah satu masalah HAM di tanah Papua menjadi persoalan lama yang tak tuntas, namun Pasca-unjuk rasa disebabkan karena kata rasisme," tutupnya.*