MANOKWARI- Ketua Solidaritas Papua Bergerak (SPB) Papua Barat yang juga selaku koordinator Panglima Parlemen Jalanan (Parjal) Ronald Mambieuw bersama Metusalak Awom dari Jangkar Papua Barat, dan Thimotius Daud Yelimolo dari Pemuda Adat Papua, serta yang diundang untuk forkopimda Papua Barat di hotel salah satu berbintang di Manokwari, Papua Barat, Rabu (21/8).
Panglima Parjal Papua Barat Ronal Mambieuw mengatakan, pertemuan Forkopimda tidak menyelesaikan masalah, melainkan masalah panjang ditengah masyarakat asli Papua di Papua Barat.
Apalagi rapat itu dilaksanakan tanpa melibatkan komponen masyarakat yang terlibat langsung dalam bentrok pada 19 Agustus lalu.
Ronal menilai substansi dari pertemuan itu belum dapat menemukan akar masalah, namun justru menambah masalah ditengah masyarakat yang sampai saat ini masih melakukan aksi protes di daerah lain di Papua Barat, seperti di kabupaten Fakfak, dan Sorong
Dalam kesempatan itu, selaku koordinator aksi Ronald Mambieuw menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Papua dan non-Papua yang mendiami kabupaten Manokwari yang terkena dampak langsung dari aksi massa pascabentrok itu.
Menurutnya, aksi demo damai namun berujung pada bentrok dan pengrusakan fasilitas umum. Sebenarnya bukan tujuan, demo damai yang berujung bentrok oleh solidarias Papua. Akan tetapi ada oknum massa yang melakukan pengrusakan fasilitas umum.
Kata Mambieuw, pengrusakan dilakukan oleh anak-anak jalanan sehingga melakukan hal yang tidak terpuji dan ini aksi spontan
"Atas nama rakyat Papua kami meminta kepada pemerintah daerah dan otoritas kepolisian untuk membebaskan massa yang sudah berjuang pascabentrok yang demi keselamatan keamanan," katanya.
Menurut dia, Forkopimda Papua Barat tidak meminta untuk melakukan pertemuan dan memanggil mereka yang terlibat aksi demo sehingga menemukan subtansi dari masalah. Alangkah lebih baik solusi untuk kata kata rasis dihilangkan dan tidak terulang lagi
Untuk lebih jelasnya, Mambieuw meminta Gubernur Papua Barat untuk membuka ruang lagi untuk solidaritas Papua bergerak, Cipayung, BEM Unipa yang terlibat aksi untuk mencari solusi
"Siapa yang bisa mengeluarkan, menjamin kata-kata rasis dikeluarkan hari ini untuk rakyat Papua, kami harus menyetujui pertemuan Forkopimda yang belum menjamin harkat martabat orang asli Papua" tegas Mambieuw.
Sementara itu, Pemuda adat Papua di Papua Barat, Thimotius Daud Yelimolo meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk melihat masalah kata 'Monyet'untuk rakyat Papua, bahkan kata rasisme ini sudah lama dilontarkan oleh non Papua di luar tanah Papua, di tanah Jawa.
Masalah setiap kali di tanah Papua pastinya pemerintah mengeluarkan kata Maaf dan maaf. Masalah kata rasisme ini sudah melukai hati orang Papua sudah lama dilontarkan, jadi masalah itu adalah konflik di tanah Papua secara spontanitas.
Dia mewakili pemerintah Pusat untuk melakukan dialog rekonsiliasi atau dialog dengan rakyat Papua di tanah Papua, terutama menghadirkan para pihak di luar Papua, misalnya pemerintah Malang, Semarang, dan Surabaya
"Tujuannya agar ada kesepakatan bersama tentang kata rasisme itu, supaya nanti hari jangan buat masalah konflik kepada rakyat Papua" tambah Yelimolo.
Koordinator Jangkar, Papua Barat, Metusalak Awom mengatakan, pertemuan Forkopimda hanya sepihak. Oleh karena itu dikeluarkan pemerintah harus menyiarkan mereka yang bermasalah dengan rakyat Papua untuk duduk bicara.
Sementara pemerintah Papua dan Papua Barat belum bisa memilih masalah Papua sendiri, maka harus menghadirkan semua pihak di tanah Papua, termasuk para pihak di pemerintah Pusat yang melibatkan ormas di tanah Papua.
"Pertemuan Forkopimda tidak beralasan dan tidak menyelesaikan masalah, namun akan meluruskan masalah kepada rakyat Papua dikemudian hari," katanya.
Metusalak, Ronald dan Yelimolo mewakili rakyat Papua di Manokwari Papua Barat meminta agar TNI Polri yang diperbantukan ke Papua Barat agar ditarik kembali ke satuannya di luar Papua Barat. Alasannya sangat simpel agar tidak menakuti rakyat Papua Barat. *