MANOKWARI - Lembaga kultur MRP Papua Barat akan memfasilitasi sengketa tanah adat milik keluarga Sroyer di jalan baru, distrik Manokwari Selatan, kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Dimana tanah itu bersengketa di Pengadilan Negeri Manokwari antara pihak penggugat (Elisa Sroyer) melawan PT. Fulica sebagai tergugat. Dalam sengketa tersebut pihak tergugat menang namun putusan itu tidak diakui oleh keluarga pemilik hak ulayat (penggugat) sehingga menimbulkan masalah.
Ketua MRP Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren mengatakan, pihaknya akan melakukan mediasi antara kedua belah pihak guna mencari solusi. Meskipun diakuinya, pihak tergugat menangkan gugatan sengketa tanah itu secara hukum di Pengadilan Negeri Manokwari.
"Secara hukum dimenangkan pihak tergugat, tetapi harus dipahami bahwa secara hukum adat dan sejarah kepemilikan tanah masih di keluarga Sroyer,"tegasnya menyikapi sengketa tanah di Manokwari, Selasa (13/8)
Bahkan,katanya, sesuai keterangan keluarga penggugat bahwa mereka memiliki sertifikat pelepasan tanah adat dan itu diakui di tanah Papua. Dalam artian secara hukum tergugat memiliki sertifikat tanah, namun di tanah Papua yang diakui adalah sertifikat pelepasan tanah adat.
"Kami di tanah Papua masih menghormati dan akui sertifikat pelepasan tanah adat, maka harusnya dilihat kembali sejarah pelepasan tanah adat itu dan membandingkan dengan tanggal dibuat sertifikat tanah yang dipegang oleh tergugat," ujarnya
Untuk itu, Ahoren menegaskan bahwa, MRP akan melayangkan surat kepada pihak tergugat (PT Fulica) di Manokwari dan pihak penggugat (keluarga Sroyer) untuk dipertemukan dan mencari solusi penyelesaian.
Lanjut dia, kalaupun pihak tergugat PT Fulica yang mendapat sertifikat pelepasan tanah lebih dulu daripada penggugat, maka harus diakui. Sebaliknya kalau keluarga penggugat miliki sertifikat pelepasan tanah adat duluan, maka pihak tergugat harus menghormati.
Tanah adat di Papua merupakan bagian dari hidup orang asli Papua dan sejarah kepemilikannya ada, maka harusnya pihak PT Fulica jangan mengklaim sembarangan sehingga menimbulkan masalah ditengah masyarakat adat Papua.**