JAYAPURA - Peristiwa pelanggaran HAM Berat Wasior berdarah 2001 terjadi setahun setelah negara Indonesia memberlakukan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Seiring itu pula negara belum mampu memberikan kepastian hukum sebagaimana yang dialami oleh keluarga korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001 yang telah 18 (delapan belas) tahun menanti hak atas keadilan.
Selama 18 (delapan belas) tahun penantian pemenuhan hak atas keadilan itu, keluarga Korban menyaksikan pergantian Presiden Republik Indonesia mulai dari Presiden Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Soesilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Namun semuanya tidak mampu berikan pemenuhan hak atas keadilan bagi keluarga korban sebagaimana diatur dalam mekanisme hukum yang dijamin dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Fakta pengembalian 9 (Sembilan) bekas perkara Pelanggaran HAM Berat termasuk Kasus Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001 dari Jaksa Agung Republik Indonesia kepada Komnas HAM Republik Indonesia pada tahun 2018 lalu semakin membuktikan tidak adanya komitmen Politik Negara Indonesia melalui Presiden Republik Indonesia untuk mewujudkan hak atas keadilan bagi keluarga korban Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001 mengunakan mekanisme Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penantian Panjang
Melalui penantian panjang pemenuhan hak atas keadilan bagi keluarga korban Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001 sudah dapat membuktikan bahwa Presiden Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komnas HAM Republik Indonesia tidak mampu mewujudkan perintah UUD 1945 pada Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” mengunakan mekanisme Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentan Pengadilan HAM. Terlepas dari itu, proses penghambatan pemenuhan hak atas keadilan bagi keluarga korban Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001 itu juga disebabkan karena Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberikan dasar legitimasi kepada Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kewenangan untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang telah menghancurkan “Prinsip Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” sebagaimana diatur pada pasal 24 ayat (1), UUD 1945.
Dengan berdasarkan pada kondisi yuridis Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang nihil Prinsip Independensi itu dapat disimpulkan bahwa Fakta pengembalian 9 (Sembilan) bekas perkara pelanggaran HAM Berat termasuk Kasus Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001 dari Jaksa Agung Republik Indonesia kepada Komnas HAM Republik Indonesia pada tahun 2018 lalu merupakan “atraksi politik” yang sedang diragakan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang sama-sama tidak memiliki kewenangan penuh untuk “Memerangi Penjahat HAM Di Indonesia” mengunakan tugas pokok masing-masing. Pertanyaannya adalah sampai kapan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melakukan atraksi politik itu ?, Untuk kepentingan siapa Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melakukan atraksi politik itu ?. Perlu diingatkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bahwa sudah 18 (delapan belas) tahun keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001 menunggu pemenuhan hak atas keadilan melalui mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia.
Diatas fakta itu, sayangnya sampai saat ini seluruh anggota DPR-RI khususnya yang berasal dari Daerah Pemilihan Papua (Dapil Papua) serta seluruh anggota DPR Propinsi Papua dan Papua Barat serta anggota DPRD Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Papua dan Papua Barat yang memiliki kewenangan “legislator” (Pembuat Kebijakan) hanya menyaksikan impelementasi Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia begitu saja di tengah ratapan jutaan keluarga korban pelanggaran HAM Berat khususnya Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001. Padahal anggota DPR memiliki “hak inisiatif” (Hak Mengusulkan) yang dapat digunakan untuk mendesak Presiden Republik Indonesia untuk melahirkan sebuah kebijakan tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc tentang Pelanggaran HAM Berat.
Berdasarkan uraian diatas masyarakat dan Organisasi Sipil Papua Untuk Tanah Papua yang tergabung dalam Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Papua (S.O.S Papua) dalam siaran persnya, Jumat (14/6) meminta kepada :
1. Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia segerah menghentikan atraksi politik Bolak Balik Berkas Perkara Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001;
2. Komnas HAM Republik Indonesia segerah mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menaikan status menjadi "Penyidikan dan penuntutan" atas kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001;
3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia segerah bentuk Tim Penyidikan dan Penuntut Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001;
4. Seluruh Anggota DPR Propinsi Papua dan Papua Barat serta DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Propinsi Papua dan Papua Barat untuk mengunakan “hak inisiatif anggota legislatif” mendesak Jaksa Agung Republik Indonesia, Mahkama Agung Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk mendorong Penyidikan dan Penuntutan dalam Pengadilan HAM atas Kasus Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001;
5. Presiden Republik Indonesia segera mendorong Penyidikan dan Penuntutan proses Pengadilan HAM atas Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah 2001 sebagai wujud implementasi Pasal 28D ayat (1), UUD 1945.
Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua (S.O.S Untuk Papua) ini terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat antara lain: LBH Papua,Jerat Papua, Papuan Voices, LinkAr Borneo - Kalbar, SKPKC Fransikan Papua, Yayasan Pusaka, YALI Papua, ED WALHI PAPUA, Dewan Masyarakat Adat Momuna,Perkumpulan Bantuan Hukum Sumatra Utara (BAKUMSU), Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AlDP), LP3BH Manokwari,Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Wondama, iWaTaLi Papua,JASOIL PAPUA, Koalisi peduli Ham Lingkungan ( KAPHLING) Papua, Jaringan Advokasi Untuk Perampasan Tanah (JangRampasT),PAHAM Papua, Garda Papua,PBH-Cenderawasih,Asia Justice and Rights (AJAR) dan Kontras Papua.