JAYAPURA – PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) meminta kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika segera membentuk Badan usaha Milik Daerah (BUMD) yang akan mengelola divestasi 10 persen saham PT Freeport untuk Pemerintah Provinsi Papua.
Staff Khusus PT Inalum untuk Provinsi Papua, Marinus Yaung mengatakan, hingga bulan kelima sejak kesepakatan perjanjian pengalihan saham dari PT Freeport McMoran kepada pemerintah Indonesia tanggal 21 Desember 2018, proses pemberian 10 persen saham kepada Pemprov Papua ini belum selesai karena belum terbentuknya BUMD antara Pemrov Papua dan pemkab Mimika.
“BUMD yang ingin didirikan oleh Pemrov Papua dan pemkab Mimika adalah perseroan terbatas Papua divestasi mandiri sesuai peraturan daerah nomor 7 tahun 2018. Sampai saat ini masih menimbulkan persoalan antara Pemrov Papua dan pemkab Mimika soal komposisi kepemilikan saham 10 persen antara Pemrov Papua dan pemkab Mimika. Itu yang membuat sering terjadi tarik ulur dan belum ada titik temu antara Pemrov Papua dan pemkab Mimika, maka finalisasi 10 persen saham untuk Papua belum terealisasi hingga saat ini,” terang Marinus Yaung kepada wartawan di Kota Jayapura, Jumat (26/4) siang.
Marinus mengungkapkan, tarik ulur dan belum ada titik temu antara Pemprov Papua dengan Pemkab Mimika ini terjadi karena masing-masing pihak berpegang pada peraturan yang berbeda. Dimana pemprov Papua berpegang pada peraturan daerah nomor 7 tahun 2018 pasal 15 yang mengatur bahwa dalam komposisi kepemilikan saham 10 persen itu, pemrov Papua mendapatkan 51 persen, Kabupaten Mimika 29 %, dan kabupaten di sekitar area pertambangan Freeport mendapat 20 %.
Sementara kata Marinus, pemda Mimika mengacu kepada perjanjian induk yang ditandatangani oleh pemerintah pusat, Pemprov Papua, Pemda Mimika, Kementrian Keuangan, kementrian ESDM, PT.Inalum tanggal 12 Januari 2018 di Jakarta di kantor kementrian keuangan.
“Dalam isi perjanjian itu mengatur bahwa komposisi kepemilikan saham 10 persen untuk Papua itu tercatat bahwa Pemprov Papua mendapat 3% dan pemda Mimika mendapat 7 %. Itu yang menjadi dasar hukum bagi Pemda Mimika untuk mempertahankan komposisi dia untuk mendapatkan saham itu sebanyak 7 %,” jelasnya.
“Sementara pak gubernur papua tetap bersikeras bahwa pemrov Papua mendapat 51% dari 10 % saham yag diberikan itu. Sehingga sampai hari ini belum ada titik temu antara pemkab Mimika dengan Pemprov papua untuk menyelesaikan masalah ini,” tambahnya.
Bahkan kata Marinus, pemerintah pusat sudah dua kali memfasilitasi pertemuan antara kedua pemimpin daerah tersebut di Jakarta, namun masih mengalami jalan buntu.
“Sudah dua kali difasilitasi oleh pemerintah pusat melalui kementrian keuangan pada 14 desember 2018 dan kementrian dalam negeri tanggal 9 Januari 2019 untuk pertemuan, namun masih mengalami jalan buntu karena karena pak gubernur dan bupati Mimika masih memegang prinsip masing-masing,” imbuhnya.
Marinus mengingatkan Pemrov Papua dan pemkab Mimika bahwa dalam kesepakatan induk pasal 2 ayat 2 mengatur apabila dalam kurun waktu 6 bulan terhitung sejak penandatanganan pengalihan divestasi saham PT. Freeport kepada PT. Inalum belum terbentuk atau belum didirikan BUMD Papua, maka saham 10 % saham Pemrov Papua akan diambil alih oleh konsorsium BUMN nasional.
“Artinya bahwa bulan depan tanggal 21 Mei itu terakhir bagi Pemda Papua dan Pemda Mimika untuk menyelesaikan konflik kepentingan dalam usaha kepemilikan 10 persen saham PT. Freeport ini, maka akhir bulan depan presiden Joko Widodo akan mengambil kebijakan untuk menunjuk konsorsium BUMN nasional mengambil dan mengelola 10 persen saham pemprov Papua itu,” ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah pusat dan PT. Inalum tidak bisa menunggu lama terkait kepastian dari pemrov Papua dan pemda Mimika dalam penyelesaian masalah saham 10 persen itu, karena 10 persen saham Papua ini dibeli dari hasil pinjaman PT. Inalum dari pasar global di London, sehingga PT. Inalum harus mengembalikan utang tersebut dalam batas waktu yang sudah disepakati.
“Jadi 10 persen saham PT. Freeport yang diberikan kepada pemerintah Provinsi Papua itu nilainya kurang lebih Rp 6 triliun dan memiliki batas waktu untuk mengembalikan utang itu. Batas waktunya itu ada 1-3 tahun, 3-5 tahun, dan 5-10 tahun, jadi harus dikembalikan beserta bunganya,” terangnya.
“Dalam prinsip perdagangan jual beli saham di pasar internasional yang berkuasa adalah pihak yang memiliki barang dan uang. Pemerintah tidak dapat mengintervensi pasar internasional. Jadi surat obligasi utang itu dipegang oleh para obligator di pasar saham london, dan surat utang itu punya batas waktu pengembalian beserta bunganya,” ucapnya.
Untuk itu, Marinus meminta kepada masyarakat Papua agar isu ini jangan sampai di politisasi sehingga menyudutkan pemerintah pusat dan PT. Inalum.
“Saya ingin menegaskan bahwa terlambatnya proses penyerahan 10 saham PT. Freeport kepada pemerintah Papua dan pemkab Mimika bukan disebabkan oleh pemerintah pusat dan PT.Inalum, tetapi penyebabnya ada di Pemrov Papua dan pemkab Mimika karena belum ada kesepakatan komposisi saham 10 persen itu,” tandasnya. *