MANOKWARI- Belum ditetapkannya tujuh rancangan peraturan daerah khusus (Raperdasus) oleh DPR Papua Barat, kini menjadi pertanyaan publik Papua Barat. Salah satunya lembaga kultur Majelis Rakyat (MRP-PB) Papua Provinsi Papua Barat.
Ketua MRP Papua Barat Maxsi Nelson Ahoren mengatakan bahwa tahapan sosialisasi tujuh raperdasus sudah dilakukan oleh DPR Papua Barat pada 1 tahun lalu, termasuk menyerahkan raperdasus kepada MRP untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap tujuh raperdasus itu selama 30 hari.
Hal itu sudah dilakukan MRP, dan menyerahkan kembali 6 raperdasus ke DPR. Satu raperdasus, kata dia, ditolak oleh MRP, namun penolakan itu dengan catatan-catatan untuk diperhatikan DPR.
"Salah satu raperdasus yang ditolak MRP adalah raperdasus pengangkatan anggota DPR dalam rangka otonomi khusus," ungkap Ahoren.
Dengan demikian sosialiasi raperdasus sudah selesai. Jadi artinya konsultasi dan sosialisasi publik oleh lembaga MRP ke masyarakat adat sudah dilakukan, termasuk konsultasi ke Mendagri pun sudah selesai.
Bahkan kata dia, mendagri sudah melayangkan surat tertanggal 8 Februari 2019 lalu yang ditujukan kepada Gubernur Papua Barat tentang 7 raperdasus dimaksud. Pasalnya dari hasil konsultasi tujuh raperdasus ke mendagri, justru mereka mendapat banyak masukan yang tertuang kedalam satu surat bagi Gubernur.
"Jadi, kita berharap perlu ada pertemuan antara DPR, MRP dan Gubernur agar membicarakan alasan penolakan 1 raperdasus berdasarkan catatan dari mendagri," tegas Ahoren kepada wartaplus.com, Selasa (12/3) malam.
Dia juga menyarankan anggota DPR untuk membuka kembali Perdasus Nomor 6 tahun 2012 tentang kewenangan MRP Papua Barat. Bahkan mendagri menggunakan Perdasus tersebut, namun ada anggota DPR menyatakan MRP tidak berhak memberikan pertimbangan terhadap anggota DPR jalur pengangkatan.
Ahoren mengklaim bahwa saat ini masyarakat Papua Barat menunggu kapan DPR menetapkan raperdasus tersebut menjadi peraturan daerah khusus (Perdasus). Oleh karena itu, ia menyarankan agar DPR segera sahkan 6 raperdasus dan satu raperdasus tidak boleh menjadi halangan.
Alasannya, 1 raperdasus tersebut hanya tentang cara pemilihan anggota DPR jalur pengangkatan, maka abaikan dulu. Namun 6 raperdasus lainnya urgen dan sangat penting untuk kepentingan orang Papua, maka silakan DPR sahkan.
"Intinya MRP tidak menolak raperdasus, namun 1 raperdasus yang ditolak. Sebab saat ini justru masyarakat menilai MRP yang menghambat penetapan raperdasus tersebut, maka segera DPR sahkan 6 raperdasus," katanya lagi.
Terkait keterlibatan MRP dalam perekrutan anggota DPR jalur pengangkatan, jelas Ahoren, seyogianya MRP tak memiliki kewenangan merekrut, tetapi didalam Pasal 12, Perdasus 6 tahun 2012 sudah jelas bagaimana kewenangan MRP.
Dimana tegas dia, MRP hanya memberikan pertimbangan dan persetujuan tentang keaslian orang asli Papua menduduki jabatan anggota DPR jalur pengangkatan sesuai UU otsus. Selayaknya seperti gubernur dan wagub Papua Barat.
Artinya MRP tidak berhak ikut menyeleksi, sebab kewenangan pengusulan anggota DPR jalur pengangkatan ada pada masyarakat adat. "Usulan dan rekomendasi DPR otsus ada pada lembaga masyarakat adat sesuai wilayah adat masing-masing di Papua Barat," tutup Ahoren. *