MANOKWARI – Penyebab implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua tidak berhasil, terdapat 6 poin versi pakar hukum STIH Manokwari, Filep Wamafma.
Di antaranya, satu, tidak ada indikator yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur sejauhmana keberhasilan Otsus. Dua, pengabaian terhadap implementasi regulasi (Perdasus/Perdasi) sebagai regulasi teknis penjabaran UU Otsus. Tiga, pengabaian implemetasi UU Otsus secara sistematik. Empat, kurang adanya keterlibatan masyarakat adat sebagai subjek utama Otsus, karena hanya berpusat pada wilayah eksekutif dan legislatif terkait perencanaannya.
Selanjutnya, lima, secara politik UU Otsus belum mampu menjawab persoalan mendasar di Papua, yakni kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan sosial dan penegakan HAM. Enam, UU Otsus sulit dilaksanakan karena cara pandang yang berbeda antara pemerintah Pusat dan rakyat Papua.
"Oleh sebab itu menurut pandangan saya, jika Otsus adalah alat untuk menyelesaikan persoalan di Tanah Papua, maka poin-poin tersebut perlu mendapat perhatian secara saksama oleh semua pihak. Apakah otsus masih dibutuhkan di Papua?" tanya Wamafma, Kamis (16/1/2019).
Solusinya, kata Wamafma adalah pemberian kewenangan secara utuh oleh pemegang kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif baik di tingkat Pusat maupun di tingka Daerah, selanjutnya adanya konsep pembangunan Papua tidak hanya dilihat dari pendekatan kesejahteraan saja atau pembangunan infrastruktur, tetapi penyelesaian persoalan di tanah Papua, terutama persoalan politik.
"Yang terakhir adalah bagaimana ada keterlibatan masyarakat adat dan organisasi masyarakat adat secara aktif dalam mermuskan kebijakan, perencanaan dan sebagai subjek utama dalam implementasi Otsus itu sendiri," jelas Wamafma.
Rektor STIH Manokwari ini menjelaskan kembali bahwa pada poin 1 (indikator) sejak UU Otsus ditetapkan dengan alokasi anggaran yang besar dari 30% untuk dana Pendidikan yang berasal dari dana Otsus pencapaiannya seperti apa, apakah sarana dan prasana pendidikan sudah sesuai dengan Standar Nasional maupun standar internasional?
Kemudian, berapakah jumlah guru/dosen yang disekolahkan oleh dana Otsus, lalu berapakah data guru dan dosen yang masih Deploma dan S1 setalah otsus berlalku. Apakah sudah ada perubahan tingkat pendidikan?
"Artinya berapakah doktor, magister dan sarjana yang dihasilkan oleh Otsus agar dapat mengukur implementasi 30% dana Otsus. Oleh sebab itu, kita harus ubah paradigma berpikir tentang perencanaan, tapi bagaimana mengejar anggaran habis dipakai dan mendapat rewort dari BPK tetapi bagaimana anggaran tersebut dapat menjawab persoalan mendasar di bidang pendidikan," tambah Wamafma. *