JAYAPURA,- Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) telah berhasil menjadi pengendali PT Freeport Indonesia (PT FI) sebagai perusahaan tambang dengan deposit emas terbesar di dunia yang berada di Provinsi Papua, setelah 51 tahun perusahaan tersebut berada dalam kendali perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan.
Namun, banyak beredar kabar hoax seputar proses pengalihan saham tersebut yang disebar oleh pengamat. Salah satunya, yakni kabar bahwa tambang PT FI digadaikan ke asing. Dimana jika Inalum gagal melunasi obligasi global untuk membeli PT FI, tambang tersebut akan jatuh ke investor asing.
Padahal faktanya, menurut dokumen Inalum, tidak ada aset atau saham Inalum dan anak usaha perusahaan, termasuk PT FI, yang digadaikan untuk mendapatkan US$ 4 miliar. Obligasi tersebut terdiri atas 4 seri, dengan tenor terpendek 3 tahun dan paling panjang 30 tahun.
Kupon obligasi itu ditetapkan fixed pada rata-rata 5,991%. Setiap tahunnya, rata-rata Inalum hanya diwajibkan membayar kupon senilai Rp 1.7 triliun. Dengan pendapatan setiap tahun diprediksi sekitar Rp 60 triliun, Inalum memiliki kemampuan yang besar untuk membayar kupon tersebut.
"Jika meminjam bank, ada resiko bunga semakin mahal dan harus membayar pokok cicilan. Sehingga, apa yang dibayar Inalum bisa jauh lebih besar dari Rp 1,7 triliun. Bank juga mewajibkan adanya asset atau saham yang harus digadaikan," ujar Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga PT Inalum, Rendi A. Witular, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (22/12).
Kabar hoax lainnya yang menyebutkan bahwa PT Inalum membeli tanah air sendiri karena tambang PT FI ada di Indonesia. Faktanya berdasarkan dokumen Inalum, yang dibeli adalah perusahaan, bukan cadangan yang dimiliki oleh PT FI, dimana PT FI sudah mengantongi izin komersil untuk menambang di Grasberg sejak 51 tahun yang lalu.
Pemerintah juga tersandera oleh kontrak PTFI yang dibuat di zaman Soeharto sehingga ketika kontrak berakhir maka hanya ada dua opsi yakni perpanjang hingga 2041 atau pemerintah digugat di pengadilan internasional. Tidak ada jaminan pemerintah akan menang di pengadilan tersebut, dan jika kalah akan diwajibkan membayar ganti rugi senilai puluhan triliun rupiah.
"Kontrak Freeport tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas (migas), yang jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina. Dalam peralihan disektor migas pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai miliaran dollar AS per tahunnya," ungkap Rendi.
Kabar hoax yang ketiga yakni harga yang dibayarkan Inalum kemahalan. Tapi faktanya Inalum membayar US$3.85 miliar atau Rp 55 triliun untuk meningkatkan kepemilikan di PTFI dari 9.36% menjadi 51.2%. Sedangkan keuntungan yang didapat nantinya adalah Kekayaan tambang senilai Rp 2,400 triliun dan laba bersih sebesar Rp 29 triliun per tahun setelah 2022.
"Di tahun 2017, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) pernah melakukan proyeksi harga pada dan hasilnya lebih mahal. Menurut studi IAGI, harga untuk menjadi mayoritas diperkirakan sebesar US$4.5 miliar atau Rp 65 triliun," jelasnya.
Pada tahun 2015, Freeport McMoran mengajukan harga US$12.15 miliar untuk meningkatkan kepemilikan Indonesia menjadi 51% kepada Kementerian ESDM, yang kemudian ditawar menjadi US$4.5 miliar. Angka hasil valuasi konsultan keuangan Morgan Stanley diawal tahun adalah US$4.67 miliar. *