MANOKWARI,- Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia ke-70 tahun pada 10 Desember 2018 ini menunjukkan situasi yang sangat mengkhawatirkan dan bersifat darurat (emergency).
Ini disebabkan karena berbagai bentuk tindakan Negara Republik Indonesia melalui aparat keamanan dari TNI dan Polri yang terindikasi kuat sebagai kasus berkategori Pelanggaran HAM Berat yang tidak pernah diselesaikan secara hukum.
"Kasus Wasior, kasus Wamena dan Kasus Paniai yang sudah terindikasi kuat sebagai kasus Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam pasal 7, pasal 8, dan pasal 9 dari UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sama sekali tidak pernah dibawa oleh Jaksa Agung ke Pengadilan HAM," kata Direktur LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy, Senin (10/12) dalam rilis yang diterima wartaplus.com.
Memurut Warinussy, kasus Paniai yang terindikadi sangat kuat memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) belum diselesaikan penyelidikannya oleh Komnas HAM RI sejak tahun 2014 hingga saat ini.
Penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksud dalam ketiga peristiwa hukum tersebut (Wasior, Wamena dan Paniai) tidak pernah dapat diselesaikan oleh Negara, karena Pemimpin Negara Indonesia melalui Pemerintah sama sekali tidak memiliki kemauan politik (political will) yang sungguh dalam menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM tersebut.
"Lebih ngeri lagi, karena para pembantu dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam banyak hal cenderung tidak mendukung langkah dan keinginan politik Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua selama ini," sebut Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari ini.
Warinussy berpendapat bahwa cara penyelesaian terhadap kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat di Tanah Papua hanya bisa dicapai melalui empat cara.
Pertama, melalui pembentukan Pengadilan HAM sesuai amanat pasal 45 UU RI No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pengadilan HAM Papua dapat dibentuk dan ditempatkan di Pengadilan Tinggi Papua di Jayapura. Kedua, melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai diamanatkan di dalam pasal 46 UU RI No.21 Tahun 2001 tersebut. Salah satu tugas utama KKR adalah memulai upaya mengungkap kebenaran dan melakukan klarifikasi sejarah integrasi Papua melalui dialog yang inklusif dan berstandar internasional.
Dan ketiga, melakukan demiliterisasi di seluruh Tanah Papua melalui perubahan terhadap pola pendekatan keamanan kepada pola pendekatan damai yang bersifat humanis, sosio antropologis dan religius.
Keempat, penegakan hukum secara adil, transparan/terbuka dan imparsial dalam konteks penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM dari sisi hak-hak sipil dan politik (sipol) maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) di Tanah Papua sesuai prosedur hukum yang berlaku. *