JAYAPURA,-Menurut tradisi Gereja, tanggal 25 Desember, umat Kristiani merayakan Natal sebagai peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Namun pada awal masa Adven (masa persiapan menyongsong hari Natal selama tiga minggu), yang tahun ini dimulai pada hari Minggu, 2 Desember, suasana Natal sudah terasa. Ada yang sudah tidak sabar lagi untuk melantunkan lagu-lagu Natal. Ini diungkapkan Uskup Jayapura Leo Laba Ladjar dalam rilisnya yang diterima wartaplus.com, Jumat (7/12) pagi.
Dikatakan, keheningan dinihari disepanjang pesisir Kota Jayapura, terjaga oleh pengeras suara dari menara Salib di Kayupulau. Kata-kata dari kisah kelahiran Yesus dalam Injil Lukas menjadi lirik lagu mengenai Damai Natal yang pasti dikumandangkan. “Gloria in Excelsis Deo et in terra pax hominibus”, Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan Damai Sejahtera di bumi diantara manusia yang dikasihi Allah.
Keheningan dan damai, itulah ciri suasana Natal yang pada malam Natal dinyayikan dalam lagu syahdu “Malam Sunyi,Malam Suci”. Ada keheningan, karena sedang terlaksana satu misteri agung yaitu misteri Allah Putera yang maha tinggi menjadi Manusia yang rapuh dan lemah.
“Ada Damai karena oleh misteri itu, Allah dan manusia bertemu dan didamaikan. Yesus Kristus menjadi Damai Sejahtera kita karena Ia mendekatkan manusia kepada Allah dan Allah kepada manusia. Damai dengan Tuhan Allah itu menjadi damai antara manusia, karena Yesus Kristus telah merubuhkan tembok-tembok perselisihan antara orang Yahudi dan Yunani dan anatara semua suku dan bangsa,”ujarnya.
Tragedi Kemanusiaan
Kata Uskup, justru dalam awal keheningan masa Adven, yang dengan cepat tergeser oleh suasana Natal, kita sontak dikejutkan oleh media dengan berita pembantaian sesama manusia di Kabupaten Nduga. Orang yang dibantai adalah pekerja proyek jembatan di kali Aworah dan kali Yigi. Jumlah korban, oleh media disebut sebanyak 31 orang. Menyusul informasi terbaru yang lebih pasti dari media adalah 19 orang korban, sedangkan yang lain sempat menyelamatkan diri.
“Berapa pun jumlah korban, peristiwa ini sungguh merupakan Tragedi Kemanusiaan. Pembantaian dilakukan dengan darah dingin. Kekerasan terhadap kemanusiaan sungguh mengejutkan! Tentu saja, kaum Kristiani yang mulai merasakan suasana Damai Natal, pasti dan harus lebih terkejut lagi. Apalagi kalau pelakunya adalah orang-orang yang mungkin sudah terdaftar dalam Gereja tertentu sebagai pengikut dan murid Yesus Kristus. Iman Kristianinya, kalaupun ada, hanyalah menjadi celaan dan bahan olok-olokan. Karena justru pada masa Adven, dan tepat pada hari Minggu yang dimuliakan sebagai Hari Tuhan oleh kaum Kristiani, terjadi peristiwa yang merupakan serangan langsung pada Kebijaksanaan IIahi yang begitu meninggikan martabat kehidupan manusia dengan sendiri hadir di bumi ini dalam rupa manusia,”ujarnya.
Kandas Pada kebanggaan Lahiriah
Dikatakan Uskup, kita umat Kristiani, patut bertanya pada diri kita sendiri: Bagaimana dengan pemberitaan Injil kita? Apakah berita sukacita dan Damai Natal menghasilkan perubahan dalam hati dan dalam sikap hidup, ataukah hanya kandas pada kata-kata dan kebanggaan lahiriah bahwa Tanah Papua sudah menjadi berkat, sudah diterangi Injil?
“Setiap tahun Papua, dan banyak kampung secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, merayakan Hari Pekabaran Injil, mengenang saat Injil masuk Tanah Papua,”kata Uskup.
Ungkap Uskup, tragedi serangan pada kemanusiaan ini menimbulkan pertanyaan: Injil masuk ke mana? Kedalam hati dan mengubah hati serta perilaku atau kandas di pohon dan batu-batu?
“Peristiwa perbantaian ini, sekali lagi merupakan tantangan bagi para pemberita Injil dan Gereja-gereja agar tidak berpuas diri dengan mengatakan bahwa kami sudah mayoritas di tanah ini. Patut dicamkan bahwa mayoritas tidak ada artinya, kalau mereka yang mengaku Kristiani, tidak menjadi pembawa Damai Natal sekaligus tidak menjadi ‘garam dan terang, dalam masyarakat,”ujarnya.
Kata Uskup, kekerasan terhadap kemanusiaan di masyarakat kita, sungguh memprihatinkan. Sebab selain pembantaian di Nduga, ada banyak kejadian lain yang juga membawa korban. Komnas HAM Perwakilan Wilayah Papua mencatat, selama tahun 2018 saja, terdapat berbagai konflik dan kekerasan di Tanah Papua dengan korban manusia sebanyak 34 orang, baik orang sipil maupun dari aparat keamanan. Belum lagi terhitung berbagai konflik horisontal dan kriminalitas disertai kekerasan yang makin banyak terjadi di kota-kota, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya.
Semuanya membuat perayaan Natal terasa hambar. Pesan rohaninya merosot dan hanya menjadi iklan dan adpertensi para saudagar yang sasarannya menggoda orang untuk meningkatkan gaya hidup yang konsumeristis.
“Sebenarnya dalam hari-hari awal Desember, masyarakat nasional dan dunia internasional sudah mengingatkan kita, dan dengan demikian membantu kita untuk menghayati Natal dengan menghargai nilai luhur kehidupan manusia dan menjauhkan segala hal yang bertentangan dengan keluhuran martabat manusia itu,”ujar Uskup
Dikatakannya, tercatat bahwa pada hari-hari sebelum Natal itu ada Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan, ada Hari AIDS, Hari Penghapusan Perbudakan, Hari HAM dan Hari Ibu. Mestinya Natal menjadi puncak dari semua itu ketika kita memandang Bayi Betlehem yang lemah dan lembut yang menyapa kita dengan berkata: Kasihilah Aku, sebagaimana Aku mengasihi kamu. Kasihilah dan hormatilah sesamamu manusia, karena setiap manusia yang hidup membawa dalam dirinya kehidupan yang dari Allah.
“Semoga kekerasan terhadap hidup manusia tidak lagi terjadi.Hanya dengan itu, pada suatu waktu, mimpi kita bisa menjadi kenyataan yaitu: Papua Surga Kecil yang jatuh ke bumi,”kata Uskup Leo.*