MANOKWARI,- Halaman Kantor Gubernur Papua Barat dipadati masyarakat untuk menyaksikan konser Edo Kondologit dan Mitah Talahatu. Keduanya konser untuk mengampanyekan provinsi konservasi Papua Barat.
Di samping masyarakat menyaksikan konser, masyarakat juga menyaksikan 'Pangkal Musabab' adalah pemutaran perdana Provinsi Konservasi yang digelar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat bersama-sama dengan Program Papua Barat Conservation International (CI) Indonesia.
Pemutaran film itu merupakan bagian acara dari “Pesta Rakyat untuk Konservasi” di Papua Barat. Agar diketahui bahwa dari Manokwari, sepanjang bulan Oktober 2018 ini Tim dari CI Indonesia akan bergerak menuju Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Raja Ampat, Kota Sorong, Kabupaten Fakfak, dan terakhir di Kaimana.
Meskipun acara dimulai satu setengah jam lebih lambat dari yang dijadwalkan, para penonton tetap antusias menanti kegiatan semalam. Sebelumnya, Edo Kondologit membuka acara dengan lagu ikonik karya Franky Sahilatua (alm.), “Aku Papua,” yang segera disambut dengan hempasan kor penonton yang menyemut di sekitar panggung.
Tanpa membuang waktu, Seniman kelahiran Kota Sorong itu segera mengalihkan pandangan penonton ke arah Pendopo Kantor Gubernur – tempat tamu undangan duduk – dan mempersilahkan Meity Ursula Mongdong, Direktur Program Papua Barat untuk Conservation International (CI) Indonesia untuk memberikan penjelasan tentang ‘propaganda.’
“Kita semua berada di sini untuk merayakan berkat yang berlimpah dari Tuhan atas keanekaragaman hayati yang luar biasa di Tanah Papua ini. Kita juga merayakan kearifan dan keberanian masyarakat dan Pemerintah untuk menjadikan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi,” sebut Meyti Ursula, Selasa malam.
Lanjutnya Kampanye ini bermaksud untuk mensosialisasikan kepada semua kalangan di seluruh kabupaten/kota bahwa Papua Barat adalah tanah yang diberkati, dan itu sebabnya penting untuk dideklarasikan dan diperjuangkan terus sebagai Provinsi Konservasi.
Pemutaran Film ini memang bertujuan untuk ‘membahasakan’ paradigma dari Provinsi Konservasi kepada publik.
Menurutnta apa yang bisa mereka bisa perbuat, akhirnya lakukan bersama-sama untuk mewujudkannya. Barulah kita bisa ‘menggugat’ manfaat apa yang akan dirasakan sekarang, nanti, dan seterusnya.
Selanjutnya, Meity menyerahkan podium kepada Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi dalam hal ini Sekda Drs. Nataniel D. Mandacan, M.Si, yang segera menyapa khalayak dengan ramah.
“Ketika berbicara konservasi dengan masyarakat di kampung-kampung mereka tidak tahu. Baru ketika saya berbicara mengenai perlindungan, bahwa ada pemeliharaan, ada pemanfaatan itu secara turun-temurun sudah ada, mereka paham apa itu konservasi," sebut Sekda Nataniel.
Tidak lama setelah Edo Kondologit dan Mitha Talahatu masing-masing membawakan satu lagu, pemutaran film pun dimulai. Rasa penasaran penonton akan film yang akan diputar menggiring mereka menuju areal di sekitaran layar yang lokasinya berada tepat di antara Pendopo Kantor Gubernur dan panggung.
Tampak pula penonton duduk satu per satu, hampir seluruh tata cahaya perlahan-lahan dimatikan, dan film pun dimulai. John Weller dan Shawn Heinrichs, Blue Sphere Foundation bersama dengan Program Papua Barat CI Indonesia dan Pemproc Papua Barat menghabiskan waktu hampir tiga tahun untuk menggarap Film ini hingga selesai.
Judul film “Provinsi Konservasi” itu sendiri sebenarnya adalah ‘jawaban’ dari ‘pertanyaan-pertanyaan’ yang ‘diterjemahkan’ melalui bahasa visual mengenai potensi sumber daya alam dan budaya, tantangan-tantangan yang dihadapinya, dan juga upaya yang digagas oleh masyarakat dalam merespon tantangan tersebut.
Kisah-kisah yang direkam dari enam kabupaten dan kota di Papua Barat tersebut mengalir dinamis melalui alur cerita film yang bersinergi apik dengan musik yang otentik. Sebuah momentum yang terasa relevan dengan penyelenggaraan Festival Seni Budaya VI Papua Barat, mengingat semua masyarakat yang hadir dari 13 Kabupaten/Kota di Papua Barat larut dalam acara Pemutaran Film yang, tentunya, tidak mengenal batas administratif.
Film-pun mencapai akhirnya, khalayak kembali bergerombol ke arah panggung. Tata cahaya di panggung kembali berpendar riang. Di bawah sorotan lampu, Edo Kondologit dan Mitha Talahatu berduet menyanyikan “Parcuma” yang disambut histeria penonton.
Lalu panggung ‘diambil alih’ oleh Mitha yang menyanyikan tembang-tembang andalannya seperti “Sa Pu Cinta Cuma Ko” dan “Beta Seng Marah.”
Mitha mengembalikan panggung kepada Edo. Di sela-sela suara Edo Kondologit yang bertenaga, beliau memyempatkan diri untuk menyampaikan, “Kitong harus ingatkan pihak-pihak tertentu yang suka tembak-tembak burung itu, dorang-dorang yang suka beli-beli binatang langka dari Papua. Kitong mesti ingatkan mereka, kitong tidak boleh bosan untuk tegur dorang: Stop sudah!” Edo mengakhiri acara pada malam itu dengan mengajak penonton untuk naik ke panggung dan menyanyikan lagu Papua; “Sapu Tangan Biru.”
Sementara itu di kesempatan terpisah, Mitha Talahatu turut urun pesan. “Papua Barat itu sangat kaya; beraneka ragam di darat dan di laut. Mitha sangat setuju sekali dengan Papua Barat yang sudah dideklarasikan sebagai Provinsi Konservasi,” ujar penyanyi yang memiliki nama asli Maritha ini, seraya menambahkan, “Mari, Masyarakat Papua Barat! Kita jaga hutan dan laut, jangan dirusak dan dikotori dengan sampah.” *