JAYAPURA, - Provinsi Papua dikenal sebagai provinsi yang memiliki kekayaan alam melimpah, namun tidak pernah luput dari berbagai persoalan sosial. Salah satu yang paling menonjol adalah tingginya angka kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) Papua mencatat realita angka kemiskinan di Papua mencapai 20 persen. Hal ini tentu sangat ironis, karena di sisi lain Papua ternyata mencatat pertumbuhan ekonomi Year on Year (Yoy) triwulan 2 tahun 2018 mencapai 24,68 persen.
Fakta tersebut memang mencengangkan, oleh karenanya peranan pemerintah dan peneliti ataupun akademisi dalam menelaah fenomena semacam ini sangat diperlukan.
Berkaitan dengan itu, BPS Papua selaku penyedia data statistik dasar yang diperuntukkan untuk pembangunan menggelar talkshow "Ngobrolin Data Yuk" dengan mengusung tema: "Mampukah Pertumbunan Ekonomi Mengentaskan Kemiskinan di Papua?"
Kegiatan talkshow yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT BPS yang jatuh Rabu besok, 26 September 2018, berlangsung di Aula Sasana Gamma kantor BPS Papua, Selasa (25/9). Dimana menghadirkan dua nara sumber dari BPS Papua yakni Kepala Bidang Nerwilis BPS Papua, Eko Mardiana dan Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Papua, Bagas Susilo.
Acara ini dihadiri para perwakilan akademisi dan mahasiswa dari sejumlah universitas negeri dan swasta yang ada di Kota Jayapura.
Kepala BPS Papua, Simon Sapari dalam sambutannya menyatakan, BPS Papua senantiasa membuka diri untuk berdiskusi dengan semua kalangan tak terkecuali dengan pihak akademisi.
"Karena kami sadar sepenuhnya bahwa banyak pemikir hebat lahir dari dunia akademik. Sehingga selayaknya akademisi turut mengiring dan memberikan feedbak terhadap data yang BPS hasilkan. Agar ke depan BPS terus dapat berke,bang da berbenah diri demia karya yang lebih baik," kata Simon.
Menarik, bahwa dalam diskusi ini berbagai ide, saran dan masukan dilontarkan oleh para akademisi terkait pendataan kemiskinan di Papua
Situmeang dari universitas Ottouw Geissler (OG) menyarankan, BPS perlu membuat Indeks Ketergantungan Uang mengingat masyarakat papua terutama yang hidup di pedalaman sangat menggantungkan hidupnya dari bantuan pemerintah, sementara di perkotaan yang sangat konsumtif
"Indeks ketergantungan uang harus ada sebagai bahan pertimbangan pemberantasan kemiskinan di Papua," katanya.
Dosen USTJ, Syamsuddin menilai perlu adanya data pembanding dalam menganalisis data agar bisa lebih komprehensif.
Sementara Yohanes, Dosen Uncen menyarankan, perlu adanya metode khusus terkait pendataan kemiskinan semisal dibuat kategori kemiskinan kultural. Mengingat di pedalaman Papua, banyak warga yang tidak memakai baju, alas kaki, hidup dalam honai, hanya makan umbian tetapi mereka memilki tanah kebun yang luas dan ternak yang banyak. Hal ini karena terkait dengan kultur budaya, kebiasaan hidup mereka yang sudah turun temurun.
Menurut Simon Sapari, pemerintah Papua harus bisa mengejar ketertinggalan.
"Mungkin pemerintah sudah membangun Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kalau kita lihat ada penurunan tingkat kemiskinan, tapi tidak terlalu siginifikan. Jadi saran kami, model pembangunan yang harus diubah," sarannya.
Kepala Bidang Nerwilis BPS Papua, Eko Mardiana menyampaikan salah satu indikator masih tingginya angka kemiskinan di Papua sementara pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan karena lambannya pertumbuhan ekonomi di tingkat pedesaan.
Di akhir diskusi, Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Papua, Bagas Susilo dalam kesimpulannya menyatakan bahwa untuk mengatasi kemiskinan tidak cukup dengan pertumbuhan ekonomi.
"Tetapi harus dibarengi dengan pemerataan hasil hasil. Harus menciptakan pusat ekonomi baru yang mana dibutuhkan tenaga kerja, butuh skill dan pendidikan. Mari kita ciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sebab dengan pertumbuhan berkualitas maka masyarakat akan sejahtera,"tutupnya.*