JAYAPURA,- Selama periode semester I tahun 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total aset Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami penurunan -4,55 persen atau sebesar Rp 94,98 miliar.
Kepala OJK Papua dan Papua Barat, Misran Pasaribu, penurunan aset ini masih berada dibawah penurunan rata-rata aset BPR nasional yang sebesar -6,42 persen.
Sedangkan peningkatan kredit BPR di Papua dan Papua Barat bertumbuh sebesar 3,50 persen, atau lebih baik dari perkembangan kredit secara nasional, dimana kredit nasional menurun sebesar -3,05 persen.
Sayangnya, pertumbuhan kredit BPR di Papua dan Papua Barat belum berbanding searah dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penurunan kredit bermasalah sehingga berdampak pada penurunan Aset BPR. DPK BPR mengalami penurunan sebesar Rp102,05 miliar atau menurun -9.72 persen dibanding posisi akhir tahun 2017. Nilai penurunan Penghimpunan DPK tersebut lebih tinggi dibandingkan penurunan Penghimpunan DPK nasional, dimana secara nasional mengalami penurunan sebesar -6,04 persen.
"Untuk rasio Non Performing Loan (NPL) atau Kredit bermasalah diketahui terdapat peningkatan dimana rasio NPL di Provinsi Papua meningkat dari 1,98 persen menjadi 2,86 persen dan di Provinsi Papua Barat meningkat dari 4,73 persen menjadi 14,92 persen. Sehingga apabila digabung rata-rata rasio NPL Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar 7,16 persen, lebih besar dari rata-rata rasio NPL Nasional sebesar 7,15 persen,” ujar Misran, Kamis (13/9).
Sementara dari sisi kecukupan modal, tercatat rata-rata rasio CAR BPR untuk masing-masing Provinsi Papua dan Papua Barat masih berada di atas 12 persen, yakni sebesar 18,03 persen dan 16,32 persen. Namun demikian, rasio kecukupan modal ini cukup jauh berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 22,72 persen.
“Untuk itu, kami minta agar Pengurus BPR selalu memantau kecukupan modalnya dan segera melakukan koordinasi dengan Pemegang Saham apabila ada kecenderungan rasio permodalan menurun. Perlu kami sampaikan kembali, bahwa pemenuhan modal inti minimum BPR sebagaimana ditetapkan dalam POJK No.5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR adalah paling lambat 31 Desember 2019,” jelasnya.
Misran mengimbau, agar BPR perlu untuk mempersiapkan rencana permodalan, termasuk di dalamnya rencana merger atau akuisisi guna memenuhi ketentuan tersebut. Di sisi lain, OJK juga siap memfasilitasi BPR dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kapabilitas insan BPR dalam melakukan analisis pembahasan dan monitoring kredit mikro dengan melakukan pelatihan. *