JAYAPURA,- Keuskupan Agung Merauke (KAME) merupakan metropolit Provinsi Gerejani dalam kesatuan dengan empat keuskupan sufragan di Papua, yaitu Keuskupan Agats, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Manokwari-Sorong dan Keuskupan Timika. Awalnya keuskupan ini didirikan sebagai Vikariat Apostolik Merauke pada 24 Juni 1950, memisahkan diri dari Vikariat Apostolik Amboina.
Seiring pertumbuhan umat dan mempertimbangkan wilayah pelayanan misi, vikariat ini kemudian ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Merauke pada 15 November 1966. Tercatat, sejumlah Uskup yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi Gereja Lokal Katolik di Merauke ini yakni Mgr. Herman Tillemans, MSC (15 November 1966 - 26 Juni 1972, wafat tahun 1974), Mgr. Jacobus Duivenvoorde, MSC (26 Juni 1972-7 April 2004, wafat tahun 2009) dan Mgr. Nicolaus Adi Seputra, MSC ( 25 Juli 2004-sekarang).
Keuskupan Agung Merauke (KAME) memiliki daerah pelayanan pastoral yang sangat luas dan tidak gampang untuk dilalui. Hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri dalam pelayanan bagi umat Katolik di sana. Oleh karena itu, dibutuhkan gembala-gembala yang tangguh yang dapat memupuk iman Katolik para umat, terutama orang kesil, kaum anawim, yang terpencil dan terpinggirkan.
Sebagaimana tradisi Gereja Katolik sejagat, para pastor yang dipanggil mengabdi sebagai gembala umat Katolik dibentuk dalam panti pendidikan khusus yakni seminari. Demikian pun halnya di Keuskupan Agung Merauke (KAME). Setiap tahun, selalu saja ada orang muda Katolik yang terpanggil untuk menjalani proses pendidikan menjadi calon imam Katolik (pastor) atau dikenal dengan frater.
Menurut Uskup KAME, Mgr. Nicolaus Adi Seputra, MSC, saat ini, keuskupan yang dipimpinnya mempuyai 20 calon imam projo. Mereka tengah menjalani studi di STFT Fajar Timur Abepura-Jayapura. Inilah jumlah yang amat menggembirakan. Jumlah statistik panggilan ini terbilang tinggi di Papua ketika kita membandingkan jumlah frater calon imam projo yang sedang studi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur-Abepura dari 5 keuskupan di Tanah Papua berjumlah 150 orang. Sementara itu, para frater dari Biara Ordo Santo Agustinus (OSA) berjumlah 30 orang dan Frater Ordo Fratrum Minorium (OFM) sebanyak 25 orang. Jadi total frater yang studi kurang lebih 200 orang.
“Karena itu, kami berusaha untuk membangun rumah studi Duta Damai St. Nicholaus dengan dibantu para donatur dari Jakarta dan berbagai donatur baik dari Tanah Papua maupun daerah lainnya, bagi para calon imam Seminari Tinggi Interdiosesan ‘Yerusalem Baru’ yang berjumlah mencapai 40 orang. Di tempat itu para calon gembala umat dipersiapkan sehingga di kemudian hari cukuplah jumlah pelayan bagi umat katolik di Keuskupan Agung Merauke,” kata Uskup.
Selain membangun Rumah Studi, Uskup Nicholaus juga bertekad akan memberikan bantuan imam ke keuskupan-keuskupan daerah-daerah lain yang membutuhkan bantuan, bila jumlah pastor di KAME sudah mencapai 50 orang. Mereka yang dibina di seminari itu, tidak semuanya menjadi pastor. Mereka yang tidak menjadi pastor, kata Uskup, de facto telah sangat membantu pembangunan SDM di tanah Papua, dan kemajuan di daerah ini pada khususnya, dan diharapkan akan memberikan sumbangan besar bagi bangsa Indonesia atau bahkan bagi dunia.
“Rumah Studi terpisah dari kompleks Seminari Tinggi Yerusalem Baru, tetapi bukan untuk menyendiri dan memisahkan diri tetapi ini tetap satu berbadan utuh, dari seminari sehingga namanya tetap Seminari Tinggi Yerusalem Baru. Ini penting rohnya bahwa semua sebagai satu kesatuan tempat pembinaan calon imam. Meskipun unitnya berbeda jauh,” tegas Uskup Nicholaus.
Dalam waktu yang terbilang singkat, Keuskupan Merauke telah dengan cepat dan sukses mendirikan Rumah Studi St. Nicholaus di atas tanah seluas 3,2 hektar, terdiri dari puluhan kamar tidur bagi para calon pastor dan pastor pembinanya, 1 kapel, 1 ruang makan, 1 aula, dan beberapa bangunan penunjang lainnya. Berada tepat di tepi kali, komplek ini memiliki beberapa sumber mata air.
Namun siapa sangka, di atas hamparan tanah nan elok kini, proses untuk mendapatkan tanah ini memiliki kisah perjuangan nan sulit? Pastor Nico Jumari Joko Lelono, Pr, salah seorang Imam Keuskupan Agung Merauke mengisahkan, banyak kendala yang dihadapi pada saat berurusan dengan tanah untuk pembangunan Rumah Studi karena banyak kelompok yang mengaku memiliki tanah tersebut sejak tahun 2010 hingga selesai pada Tahun 2017.
Ancaman-ancaman pun silih berganti menghampiri, hampir setiap malam datang silih berganti orang yang berbeda di STFT Fajar Timur Abepura. Bahkan, Pastor Nico pernah dikeroyok sejumlah pengusaha yang dahulu pernah membeli tanah ini di Polsek Jayapura Selatan di Entrop dari Pkl 07.00 hingga Pkl 19.00 WIT. Tidak ada kesepakatan waktu itu. Pastor Nico disudutkan.
“Pernah saya dibawa ke Polda Papua oleh Kepala suku, Kepala Adat yang menyatakan pemilik tanah ini dan saya hanya seorang diri. Tidak ada yang membela, tidak ada yang bersama saya. Saya bersyukur karena Kepala Dinas Kesehatan Papua, Pak Aloysius Giyai selalu membantu, ketika ada masalah apapun pasti saya lapor ke beliau,” tutur Pastor Nico.
Menurut Pastor Nico, pihak Keuskupan Agung Merauke senantiasa mengapresiasi dan menghargai para kepala suku dan unsur adat yang telah melepas tanah dan membantu proses pembangunan sarana pembinaan calon pastor ini. Sekalipun berulang kali mendapat ancaman, Pastor Nico menegaskan dirinya sama sekali tak mendendam, apalagi membalas dengan kekerasan melainkan dengan KASIH.
“Saya bekerja bukan untuk cari untung buat diri saya sendiri tetapi saya menjalankan amanah dari Allah. Sekiranya ketika suatu hari nanti saya meninggalkan Tanah Papua, sebutir tanah pun saya tidak bawa. Inti dari semua ini adalah DAMAI, Damai nanti, damai sekarang dan antara Allah, Alam dan aku damai semuanya, seluruh masyarakat yang berada di sekitar ini juga memperoleh kedamaian. Meskipun kami diserang, dibenci, namun kami tetap mencintai mereka dan saya tetap mendoakan mereka supaya mereka selamat,” tutur Pastor Nico. *