JAKARTA,- Permohonan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kerukunan Pegunungan Tengah Lapago yang diwakili Kuasa Hukum Refly Harun, dkk kandas di MK. Pasalnya, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun Pemohon adalah pemantau Pemilu yang memiliki status terakreditasi, namun pemohon tidak memiliki ketentuan pengajuan permohonan ke mahkamah.
Putusan ini dibacakan di dalam sidang, Jumat (10/8) pagi di Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Majelis Hakim Usman Anwar dihadiri Pemohon, Termohon KPU Puncak yang diwakili Kuasa Hukum, Pieter Ell, Rahman Ramli dan David Soumokil, serta pihak terkait yang dihadiri oleh calon tunggal Bupati Puncak, Wellem Wandik.
Dalam amar putusan persidangan itu, Mahkamah mengemukakan, Pemohon merupakan pemantau Pilkada pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Puncak, akan tetapi pemohon belum mendapatkan akreditasi sebagai pemantau terakreditasi dari KPU Kabupaten Puncak.
Pemohon LMA Kerukunan Pegunungan Tengah Lapago mendalilkan telah melakukan pendaftaran sebagai pemantau pemilu pada tanggal 11 Desember 2017. Namun menurut Pemohon, Termohon tidak merespon surat yang dikeluarkan berisi penerimaan atau penolakan terhadap pengajuan pemohon sebagai pemantau. Oleh karena itu, Pemohon beranggapan bahwa Pemohon adalah pemantau pemilu yang terakreditasi.
Terhadap dalil pemohon tersebut, Termohon dan pihak terkait membantah legalitas Pemohon sebagai pemantau Pemilu. Termohon mengajukan bukti berupa surat keterangan legalitas Lembaga Masyarakat Adat Kerukunan Pegunungan Tengah Lapago, tertanggal 11 Juli 2018 yang dikeluarkan Badan Kesbangpol Pemerintah Kabupaten Puncak yang menerangkan bahwa Lembaga Masyarakat Adat Kerukunan Pegunungan Tengah Lapago tidak terdaftar di Pemerintah Kabupaten Puncak.
Kata Hakim Usman, setelah Mahkamah memeriksa secara seksama permohonan Pemohon, jawaban Termohon, keterangan Panwaslu, keterangan pihak terkait dan alat bukti yang diajukan, menurut Mahkamah, suatu organisasi yang hendak menjadi pemantau pemilu, haruslah memenuhi syarat terdaftar di pemerintah daerah di mana lembaga itu berkehendak menjadi pemantau dalam pemilihan kepala daerah dan juga terakreditasi di KPU. Kedua syarat ini kumulatif dan bukan alternative.
“Kendati demikian, Mahkamah tidak dapat menilai kebenaran bukti yang diajukan oleh Pemohon maupun Termohon karena pengecekan status Pemohon dan Termohon sebagai organisasi kemasyarakatan yang terdaftar diperoleh pemerintah Kabupaten Puncak, sedangkan status Pemohon sebagai organisasi kemasyarakatan terdaftar diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Papua,” terang Usman.
Terhadap hasil penetapan penghitungan suara, menurut Mahkamah, jika dilihat dari jumlah penduduk Puncak di mana ambang batasnya 2%, di mana jumlah perolehan suara antara yang tidak setuju dengan suara setuju (Pihak Terkait) adalah paling banyak 2% x 158.340 suara (total suara sah) = 3.166 suara.
Mahkamah merinci, perolehan suara tidak setuju adalah 14.813 suara, sedangkan perolehan suara setuju adalah 143.527 (143.527 suara setuju - 14.813 suara tidak setuju) = 128.714 suara (81%) sehingga lebih dari 3.166 suara.
Berdasarkan pertimbangan hukum inilah, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun Pemohon adalah pemantau Pemilu yang memiliki status terakreditasi, namun pemohon tidak memiliki ketentuan pengajuan permohonan ke mahkamah. *