JAYAPURA,-Undang-Undang Otonomi Khusus mewajibkan pemerintah untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk. Pokok tersebut, diungkapkan para Uskup Gereja Katolik di Tanah Papua perlu ditangani dengan serius karena berdampak langsung pada perlindungan serta penghormatan hak-hak dasar penduduk asli seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang itu.
Diungkapkan Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM Uskup Keuskupan Jayapura, kepada wartawan Kamis (9/8) di Susteran Maranatha Waena Jayapura, migrasi penduduk yang masuk ke Papua amat besar dan tidak terkendali. Marginalisasi dan kesenjangan ekonomi pun menjadi makin besar. Juga migrasi dari pegunungan dan pedalaman ke kota menciptakan masalah yang sama. Orang yang dari pedalaman ke kota tidak mendapat peluang untuk memperoleh pekerjaan dan tempat tinggal.
"Mereka menjadi orang pinggiran, tersingkir dari sentra kegiatan ekonomi dengan segala konsekuensi buruk. Di mana ada sentra pemukiman yang berkembang, penduduk asli tersingkir dari jalan-jalan utama dan menyingkir makin jauh ke dalam hutan. Banyak yang dengan mudah melepaskan hak atas tanah untuk memperoleh pendapatan sesaat, tetapi kehilangan ibu yang menyuap dan menopang hidup mereka," ujar Uskup kepada wartawan di Susteran Maranatha, Kamis (9/8) siang bersama Uskup Keuskupan Timika Mgr Yohannes Philipus Gaiyabi Saklil dan Uskup Keuskupan Agung Merauke Mgr Nicolaus Adi Seputra, MSC.
Kata Uskup, dengan status otonomi khusus, dalam bidang politik dan pemerintahan, jabatan-jabatan tinggi sudah di tangan orang Papua. Maka keinginan sudah tercapai, kalau itulah yang dimaksudkan dengan menjadi tuan di negeri sendiri.
Tetapi dalam banyak bidang lain, orang asli Papua belum mejadi tuan di tanah sendiri karena belum memegang peranan yang menentukan dan menguntungkan mereka. Penambahan penduduk dalam jumlah besar dari luar Papua menciptakan persaingan yang tidak seimbang dalam mencari lapangan kerja.
"Yang mereka butuhkan adalah perlindungan yang nyata dan dukungan yang tegas dari penyelenggara pemerintahan. Karena justru dalam sektor informal itu, yang sebenarnya bisa ditangani orang setempat, paling dirasakan persaingan yang tidak seimbang,"tuturnya.
Maka pihaknya meminta agar dalam usaha-usaha di sektor informal itu, para pendatang dibatasi dan masyarakat setempat dilatih untuk bergiat di sektor-sektor itu. Wilayah pertambangan rakyat yang ada misalnya di Kabupaten Nabire, Senggi, Mimika, Asmat dan Korowai serta pendulangan tailing Freeport, perlu diatur untuk menjamin hak atas mata pencaharian bagi masyarakat setempat.
"Demikian juga pelayanan umum dengan angkot dan ojek di pinggiran kota dan pedalaman, usaha kios, cukur rambut, bengkel dan lain-lainnya, pasti bisa dijadikan bidang usaha khusus bagi masyarakat setempat. Pemerintah Daerah kami minta agar mengatur hal itu, seperti diamanatkan UU OTSUS (pasal 38:2)," harapnya.
Berkenaan dengan perusahan sawit dan investasi lainnya, pihak uskup juga meminta agar hak masyarakat lokal atas tanah dilindungi dan dijaga. Untuk itu Pemerintah Daerah hendaknya meninjau kembali dan menegaskan kesepakatan tentang sewa-menyewa atau kepemilikan atas tanah.
"Kesepakatan itu harus mencakup tanggung jawab perusahan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, penetapan harga kayu gelondongan yang lebih tinggi, rehabilitasi dan pemeliharaan lingkungan hidup serta keutuhan alam ciptaan,"tandasnya.*