JAYAPURA,-Forum Masyarakat Papua Peduli Freeport (FMPPF) menggelar rapat persiapan untuk aksi demo damai pada 1 Agustus 2018 mendatang. Rapat ini diikuti oleh perwakilan adat, agama, pemuda dan masyarakat umum di Aula Susteran Maranatha Waena, Rabu (25/7) sore.
Koordinator Lapangan, Yusak Andato, menyampaikan, aksi damai yang akan dilakukan pada 1 Agustus 2018 merupakan bentuk keprihatinan terhadap kondisi masyarakat Papua yang hidup dalam garis kemiskinan, sementara Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah.
" Sudah saatnya kita bicara soal apa yang menjadi milik kita, sudah saatnya orang Papua bicara untuk kekayaan alamnya. Kita berjuang secara baik dan bermartabat untuk mendapatkan hak kita," ujarnya.
Dikatakan, pada tanggal 1 Agustus 2018 bertepatan dengan perundingan antara Freeport dan Pemerintah tentang kontrak karya.
" Semua masyarakat kita undang terlibat, mulai dari Sentani, Abepura, Keerom, dan semua harus terlibat, kita harap dalam aksi demo nanti kita akan lakukan secara damai,"ucapnya.
Dikatakan, aksi demo ini akan kita lakukan di Jakarta, Papua Barat, dan Papua. Mari kita tuntut hak kita sebagai masyarakat Papua.
Ketua aksi damai, Samuel Tabuni menjelaskan, aksi ini harus dilakukan karena setiap perundingan yang dilakukan oleh PT.Freeport dan Pemerintah tidak pernah melibatkan Orang Asli Papua.
" Pembahasan sudah jalan di Jakarta, tapi tidak satupun orang Papua yang dilibatkan dalam perundingan. Ini menjadi kegelisahan buat kami orang Papua, selama ini kita tidak pernah dilibatkan dalam perjanjian kontrak karya PT.Freeport dan Pemerintah, untuk itu saat nya kita menuntut hal yang menjadi hak kita," tegasnya.
Menurut Samuel, jika orang Papua tidak dilibatkan sekarang maka sudah tentu orang Papua tidak akan terlibat lagi.
"Kalau kita tidak terlibat, bagaimana dengan generasi kita di masa depan? Kalau kita tidak lakukan sekarang, kapan lagi? Ini tanah kita, kita investasikan tanah kita, tapi tidak dilibatkan. Ini akan menjadi hal yang menakutkan bagi kita, untuk itu sudah saatnya kita bersuara untuk mendapatkan hak masyarakat Papua," katanya.
Lanjut Samuel, dalam penandatanganan kontrak terbaru Pemerintah mendapat 51% saham, dan Pemerintah Provinsi Papua mendapat 10% yang dibagi untuk Pemprov Papua 3%, sementara 7% akan dibagi ke 5 Kabupaten yang ada di sekitar area tambang Freeport.
"Kita hanya dengar persennya, tapi sampai saat ini kita tidak tau pasti berapa nominalnya, oleh karena itu kita butuh kejelasan,"ucapnya.
Samuel juga menegaskan bahwa PT. Freeport bukan hanya milik 7 suku, tetapi milik seluruh masyarakat Papua. " Semua harus sadar bahwa Freeport bukan hanya milik 7 suku, tapi semua masyarakat Papua," bebernya.
Senada dengan itu, Marinus Yaung mengungkapkan, garis besar dari aksi demo yang akan dilakukan adalah menuntut agar orang Papua dilibatkan dalam proses perundingan antara Pemerintah dan PT. Freeport.
"Yang kami harapkan adalah libatkan kami orang Papua sebagai pemilik tanah dalam perundingan," ujarnya.
Marinus juga menyampaikan bahwa bukan saatnya masyarakat Papua teriak PT. Freeport tutup, melainkan meminta agar orang Papua dilibatkan dalam perundingan yang dilakukan.
"Saya harap tidak ada lagi kata tutup Freeport, karena upaya ini sudah dilakukan berulang kali, tapi tidak membuahkan hasil, yang ada hanya melahirkan korban jiwa. Jadi kita coba membuat suatu etika demo yang baik, yang akan diperhatikan oleh Pemerintah dan menjawab tuntutan kita untuk dilibatkan," tandasnya.*
Sudah Saatnya Rakyat Papua Dilibatkan Dalam Perundingan Antara PT Freeport dan Pemerintah
Suasana rapat persiapan untuk aksi demo damai dari Forum Masyarakat Papua Peduli Freeport (FMPPF) di Aula Susteran Maranatha Waena, Rabu (25/7) sore/Findi