Wilayah Adat Atau Wilayah Ekosistem

DR. Agus Sumule

Oleh: Agus Sumule
[Universitas Papua]

16 Juni 2016, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas, Sofyan Djalil, menyatakan di hadapan tokoh-tokoh agama se-Provinsi Papua, bahwa Pemerintah Pusat sementara menyiapkan strategi pembangunan berbasis wilayah adat di Tanah Papua. Beliau menyebut wilayah adat Mamta, Saereri, Ha Anim, Bomberai, Domberai, La Pago dan Mee Pago sebagai Tujuh Wilayah Adat Papua. Beliau mengklaim bahwa pembangunan dengan tujuh kluster ini cocok dengan kondisi di Papua, dan bahkan sudah diterapkan sejak zaman pemerintahan Belanda di Papua.

Sejak saat itu, dalam berbagai percakapan dan tulisan tentang pembangunan Papua, istilah “wilayah adat” semakin sering digunakan. Bahkan, timbul kesan, bahwa pembangunan berbasis wilayah adat dinilai oleh banyak pihak adalah jawaban atas berbagai kegagalan menyejahterakan rakyat Papua selama ini.

Saya telah berupaya untuk mencari tahu tentang latar belakang dan para ahli yang bertanggung jawab atas munculnya konsep pewilayahan adat ini. Saya mencari dokumen-dokumen ilmiah, khususnya yang dihasilkan dan/atau yang berasal dari hasil-hasil studi di waktu lalu, namun saya tidak mendapatkannya.

Saya juga bertanya kepada mereka yang saya anggap ahli dalam kebudayaan Papua. Para ahli antropologi di Universitas Cenderawasih pun tidak mengetahui tulisan-tulisan yang otentik yang mendiskusikan konsep pembagian wilayah budaya Papua. Mereka juga tidak pernah menyarankan pembagian wilayah adat di Papua menjadi tujuh seperti yang dikenal selama ini. Pada saat yang sama, mereka menjelaskan kepada saya, bahwa pewilayahan adat adalah hal yang lumrah dalam antropologi budaya. Alfred Kroeber, misalnya, adalah salah seorang ahli antropologi budaya di Amerika Serikat yang membagi kebudayaan penduduk asli ke dalam beberapa wilayah budaya.

Belakangan, saya memperoleh informasi, bahwa konsep tujuh wilayah adat Papua itu dikemukakan dan digunakan pertama kali oleh Dewan Kesenian Irian Jaya di tahun 1980-an. Konsep ini menjadi populer ketika MRP (Majelis Rakyat Papua) terbentuk, khususnya MRP jilid ke-2, banyak menggunakan istilah wilayah budaya. Provinsi Papua diklaim memiliki lima wilayah budaya: Mamberamo-Tami (Mamta), Saereri, Ha Anim, La Pago dan Mee Pago, sementara Provinsi Papua Barat memiliki wilayah adat Bomberai dan Domberai.

Yang menjadi masalah adalah pewilayahan adat masih belum diterjemahkan oleh para penggagasnya untuk menjadi penuntun praktis bagai para penyelenggara pembangunan di daerah. Misalnya: apakah perlu ada perbedaan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan di wilayah adat Mamta dengan di La Pago, karena keduanya merupakan wilayah kebudayaan yang berbeda? Nilai-nilai khas apa yang bisa digunakan untuk memajukan kewirausahaan pada masyarakat Papua di masing-masing wilayah budaya? Dan sebagainya.

Kalau hal-hal seperti ini tidak dilakukan, maka pewilayahan adat dalam pembangunan di Papua hanya akan merdu terdengar di kuping, terutama karena para penganjurnya merasa telah memberikan ruang yang besar bagi kearifan lokal. Namun, dalam kenyataannya, tidak ada program pembangunan di Papua yang menjadi lebih jitu atau lebih berhasil dalam mengangkat kesejahteraan masyarakat akibat digunakannya konsep pewilayahan adat ini.

Pada tahun 1980-an, Bank Dunia menunjuk suatu perusahaan konsultan pembangunan, Lavalin International Inc., untuk bekerjasama dengan Bappeda Irian Jaya dalam melakukan serangkaian penelitian sosial-budaya dan ekonomi di Provinsi Irian Jaya (sekarang Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Penelitian ini menghasilkan sejumlah dokumen hasil penelitian – termasuk dalam bentuk peta-peta yang sangat bermutu. Dokumen-dokumen itu disusun untuk menjadi data dasar, bahkan kerangka, bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Irian Jaya.

Salah satu usulan dari studi itu adalah membagi Papua ke dalam sejumlah ekosistem, dan menyeleraskan rencana dan pelaksanaan program pembangunan agar sesuai dengan ciri setiap ekosistem tersebut.

Y.P. Karafir dan Tim Uncen dari Kampus Manokwari (sekarang Universitas Papua) dan Kampus Jayapura mengembangkan lebih jauh konsep itu menjadi pembangunan berbasis agroekosistem (ekosistem pertanian). Kebetulan pada saat itu, tahun 1987, telah beredar sebuah buku karangan A.F. Tucker yang berjudul “Ekosistem-ekosistem Tani di Irian Jaya dan Arah Pembangunannya”.

Ekosistem Papua pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua: dataran tinggi dan dataran rendah. Haynes kemudian mengusulkan agar dataran rendah dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) pantai, rawa dan sungai; (2) dataran pantai; dan (3) kaki gunung dan embah kecil. Ahli lain kemudian mengusulkan agar ekosistem dataran tinggi dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) lembah luas; (2) dataran di sekitar danau; dan (3) lereng bukit di lembah sempit.

Dengan pembagian seperti ini maka berhasil diidentifikasi 6 (enam) sub-sub-ekosistem Papua. Kemudian di masing-masing sub-sub ekosistem itu diidentifikasi 4 (empat) faktor penting dalam pembangunan pertanian: (1) Kegiatan produksi utama; (2) Makanan pokok dan tambahan; (3) Sumber-sumber tradisional pendapatan tunai (cash income); dan (4) Sumber-sumber pendapatan tunai yang berasal dari luar.

Dengan mengkombinasikan ke-6 (enam) sub-sub ekosistem itu dengan 4 faktor penting pembangunan pertanian, maka akan diperoleh suatu matriks yang berisi 24 buah kotak yang berisi informasi yang ringkas namun sangat kaya, dan bisa membantu parapihak untuk mengambil keputusan tentang apa yang harus dilakukan di wilayah sub-sub ekosistem itu.

Misalnya, kegiatan produksi utama di sub-sub ekosistem pantai, rawa dan sungai adalah berburu, mengumpulkan hasil, dan bertanam sagu. Makanan pokok dan tambahan mereka adalah sagu, ikan, dan sejumlah kecil daging buruan. Jadi, ketika pemerintah lalai memperhitungkan karakteristik produksi utama dari manusia Papua yang bermukim di sub-sub ekosistem ini dan memberdayakan potensi yang mereka miliki, maka kita tidak usah heran ketika terjadi rawan pangan seperti di Asmat.

Saya menyarankan Pemerintah untuk menggunakan pendekatan wilayah ekosistem dalam membangun Papua. Pendekatan wilayah kebudayaan tetap penting, tetapi masih membutuhkan penelitian mendalam untuk bisa memberikan panduan praktis seperti yang sudah saya kemukakan di atas. Pada gilirannya kedua pendekatan ini harus dikombinasikan agar diperoleh jawaban yang utuh bagi persoalan pembangunan manusia Papua.