Opini

Tragedi Penolakan Layanan Kesehatan di Papua: Saat Nyawa Ibu dan Bayi Jadi Korban Birokrasi yang Bobrok Jadi Duka Abadi

Foto Istimewa

KASUS meninggalnya seorang ibu hamil bernama Irene Sokoy beserta bayi dalam kandungannya setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Jayapura, Papua, bukan sekadar berita tragis, ia adalah jeritan darurat terhadap sistem kesehatan yang telah lama terabaikan. Peristiwa ini, yang viral di media sosial dan berita nasional sejak akhir pekan lalu, menjadi pengingat pahit bahwa di tanah Papua, akses kesehatan bukan hak mutlak, melainkan lotre yang sering kali berujung pada kematian. Ini bukan kasus terisolasi, tapi gejala dari penyakit sistemik yang lebih dalam ketidakadilan struktural yang menewaskan generasi masa depan.

Keluarga harus membawa jenazahnya kembali ke kampung dengan perahu, tanpa bantuan medis apa pun. Gubernur Papua, Mathius Fakhiri, bahkan menyebut ini sebagai "bobroknya pelayanan kesehatan di Provinsi Papua", dan berjanji memecat direktur rumah sakit terkait.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ikut berduka, menyatakan akan menyelidiki dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk evaluasi menyeluruh. Tapi janji seperti ini sudah berulang kalinya kapan eksekusinya? Dari perspektif saya, tragedi ini mencerminkan kegagalan multifaset.

Pertama, infrastruktur kesehatan di Papua yang kronis kekurangan. Data menunjukkan provinsi ini termasuk yang tertinggi nasional untuk prevalensi stunting (31% di Papua Barat Daya saja), TB, polio, dan kematian ibu melahirkan. Akses ke fasilitas darurat sering terhambat oleh medan geografis—danau, pegunungan, hutan—tapi itu bukan alasan untuk penolakan pasien.

Kedua, isu sumber daya manusia: kurangnya dokter dan perawat spesialis, ditambah manajemen rumah sakit yang buruk, seperti yang terungkap dalam sidak gubernur baru-baru ini di RSUD Dok II Jayapura, di mana direktur dicopot.

Ketiga, diskriminasi implisit terhadap masyarakat adat: Banyak warga Papua, seperti Irene dari Kampung Hobong, bergantung pada transportasi tradisional seperti speedboat, tapi sistem kesehatan seolah tak dirancang untuk realitas mereka.

Ini bukan hanya soal anggaran pemerintah pusat telah alokasikan dana khusus untuk Papua, tapi eksekusi yang lemah, di mana koordinasi antar-sektor sering mandek di birokrasi. Yang paling menyedihkan, kasus ini viral karena media sosial, bukan inisiatif pemerintah.

Bangun puskesmas darurat bergerak untuk daerah terpencil, rekrut tenaga medis lokal dengan insentif tinggi, dan terapkan sanksi pidana bagi rumah sakit yang menolak pasien darurat sesuai UU Kesehatan No. 17/2023. Gubernur Mathius berjanji ganti direktur rumah sakit provinsi terkait kasus Ibu Irene Sokoy. Itu langkah awal, tapi tanpa reformasi sistemik, korban berikutnya sudah menanti.

Tulisan opini ini membuat saya percaya Papua layak lebih dari sekadar "proyek pembangunan" yang sering kali mengorbankan kesejahteraan rakyatnya. Kesehatan adalah hak asasi, bukan komoditas.

Tragedi Irene harus jadi titik balik: Bukan lagi "mengapa baru sekarang ramai bicara Papua?", tapi "bagaimana kita pastikan tak ada lagi nyawa yang hilang karena kelalaian?". Mari dukung advokasi dari bawah, seperti suara keluarga korban yang kini menuntut keadilan. Hanya dengan itu, Papua bisa lahirkan generasi sehat, bukan duka abadi.*

 

* Penulis Pimpinan Redaksi wartaplus.com,         Roberth Isidorus