TINDAKAN Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua yang membakar mahkota Cenderawasih sebagai bagian dari penertiban kepemilikan satwa dilindungi baru-baru ini memicu kemarahan publik, khususnya dari Anggota DPR RI Dapil Papua, Yan Permenas Mandenas. Mahkota Cenderawasih, simbol sakral dan kehormatan bagi masyarakat adat Papua, bukan sekadar barang sitaan.
Membakarnya dianggap sebagai tindakan yang tidak peka terhadap nilai budaya masyarakat asli Papua. Pertanyaannya, apakah pembakaran adalah solusi terbaik, atau justru memperparah konflik antara konservasi dan pelestarian budaya?
Cenderawasih, burung surga yang menjadi ikon Papua, memang dilindungi undang-undang karena populasinya terancam akibat perburuan liar. Menurut data, ada 38 jenis burung Cenderawasih di Papua, dan mahkotanya kerap digunakan dalam upacara adat oleh para pemimpin seperti Ondofolo atau Ondoafi.
Ketika BBKSDA memusnahkan mahkota hasil sitaan dengan cara dibakar pada 21 Oktober 2025 di Halaman Kantornya sendiri, tindakan ini mungkin dimaksudkan untuk menegakkan hukum dan mencegah perdagangan ilegal.
Namun, cara ini justru dinilai merendahkan makna budaya yang mendalam bagi masyarakat Papua. Seperti yang dikatakan Mandenas, mahkota tersebut seharusnya dimuseumkan, bukan dihancurkan dengan cara yang dianggap tidak menghormati adat.
Konflik antara konservasi dan budaya bukanlah hal baru di Papua. Pada PON XX 2021, BBKSDA juga gencar mengkampanyekan penggunaan mahkota imitasi untuk menghindari eksploitasi burung Cenderawasih. Langkah ini menunjukkan bahwa ada cara-cara kreatif untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian alam dan penghormatan terhadap tradisi.
Membakar mahkota, sebaliknya, terasa seperti solusi yang terburu-buru dan tidak bijaksana. Mengapa tidak memilih jalur yang lebih konstruktif, seperti menyimpan mahkota sitaan di museum adat atau pusat konservasi? Ini tidak hanya akan menjaga nilai budaya, tetapi juga menjadi sarana edukasi publik tentang pentingnya melindungi spesies endemik sekaligus menghormati warisan adat.
Tindakan BBKSDA ini mencerminkan tantangan besar dalam menyelaraskan misi konservasi dengan sensitivitas budaya. Konservasi memang penting, tapi tidak boleh mengorbankan identitas dan nilai-nilai masyarakat adat. Seharusnya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bisa memfasilitasi dialog dengan tokoh adat dan masyarakat setempat sebelum mengambil tindakan yang berpotensi memicu konflik. Seperti yang didesak Mandenas, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan BBKSDA Papua diperlukan agar kejadian serupa tidak terulang.
Sebagai solusi, memuseumkan mahkota Cenderawasih adalah langkah yang jauh lebih beradab. Ini bukan hanya soal menjaga benda fisik, tetapi juga tentang menghargai makna budaya dan sejarah yang terkandung di dalamnya. Museum bisa menjadi jembatan antara konservasi dan pelestarian budaya, tempat masyarakat belajar tentang keindahan Cenderawasih sekaligus pentingnya melindungi spesies ini dari kepunahan. Dengan cara ini, kita tidak hanya menjaga alam, tetapi juga menghormati identitas masyarakat Papua yang telah hidup harmonis dengan alam selama berabad-abad.
Pada akhirnya, kasus ini mengingatkan kita bahwa konservasi tidak boleh dilakukan dengan cara yang merendahkan budaya. Pemerintah harus lebih bijaksana dalam mencari solusi yang tidak hanya melindungi satwa, tetapi juga memuliakan nilai-nilai adat.
Membakar mahkota Cenderawasih bukanlah jawaban, memuseumkannya adalah langkah menuju harmoni antara manusia, alam, dan budaya. Mari kita pilih cara yang lebih bijak untuk masa depan yang lebih baik.*
*Pimpinan Redaksi wartaplus.com, Roberth Isidorus