JAYAPURA,wartaplus.com - Paska pelantikan Mathius Fakhiri dan Aryoko sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Papua periode 2025-2030 Oleh Presiden Prabowo. MDF-AR memiliki hak progratif untuk memilih dan menujuk SKPD untuk mengisi kabinet dalam menduduki jabatan -jabatan untuk membantu kepemimpinannya selama lima tahun mendatang.
Hal ini yang diingatkan oleh pakar Politik Nasarudin Sili Luli sekaligus Direktur Eksekutif NSL Political Consultant and Strategic Champign,ia mengatakan dalam teori patronase politik, jabatan-jabatan publik sering kali digunakan sebagai “hadiah” untuk pendukung dalam rangka menjaga stabilitas dan loyalitas.
Jika langkah MDF-AR menunjuk tokoh dari simpul relawan yang membantunya menang kiranya memang dapat dipahami dalam kerangka ini, yakni politik akomodasi dalam zona aman. Namun, justru di situlah titik krusialnya. Langkah ini, meski sah, belum menunjukkan keberanian politik.
Sebab, yang dirangkul hanyalah mereka yang sudah mendukung, bukan mereka yang sebelumnya bersaing. Padahal, keberanian politik seorang pemimpin pascakontestasi justru diuji dari kemampuan merangkul rival politik ke dalam orbit kerja pemerintahan.
Tanpa keberanian ini, struktur pemerintahan pasca-pilkada Papua hanya akan menjadi gema dari barisan pemenang, bukan refleksi dari warga Papua yang plural dan memiliki preferensi secara elektoral.
Dikatakannya, legitimasi politik dinyatakan bukan hanya soal prosedur (seperti menang pemilu), tapi juga soal konten substantif, yaitu apakah kekuasaan digunakan untuk membangun rekonsiliasi, partisipasi, dan kesetaraan akses terhadap proses kebijakan?
"MDF-AR memang telah mendapat legitimasi elektoral. Tapi kini ia diuji dalam legitimasi pascakontestasi. Merangkul rival politik seperti tokoh-tokoh dari kubu BTM-CK yang secara eksplisit berhadapan dengannya di Pilkada (misalnya, mereka yang mendukung pasangan lain) akan memberi pesan kuat bahwa ia tidak sedang membangun menara kekuasaan, tapi jembatan kebersamaan,"ujarnya.
Sementara itu, jika MDF-AR hanya bermain aman dalam lingkar loyalis, maka “Perburuan Jabatan SKPD Pemprov Papua ” ini kiranya hanya akan menjadi politik pelanggengan pengaruh, bukan perawatan demokrasi.
Padahal, Presiden Prabowo Subianto telah memberikan contoh penting. Setelah memenangkan Pilpres, ia membuka ruang bagi eks rival untuk masuk dalam struktur atau mendukung pemerintahan, seperti apa yang dijalin dengan PKB, NasDem, bahkan PDIP. Tujuannya bukan hanya stabilitas, tetapi juga legitimasi dan kohesi nasional.
Logika ini tampaknya bisa diterapkan dalam skala Papua. Jika Papua Induk sebagai miniatur dan contoh dari Papua yang baru dimekarkan, maka MDF-AR semestinya berani meniru langkah besar itu, bukan hanya menghargai yang setia, tetapi juga memulihkan yang pernah berbeda.
Sekali lagi menurut pakar politik NSL dan mungkin turut disadari MDF-AR , memimpin Papua bukan sekadar memimpin koalisi, tapi memimpin semua warga, termasuk mereka yang tidak memilihnya.
"Jika penunjukan pembantu - pembantunya nantinya dari kalangan loyalis saja memperlihatkan kecenderungan eksklusif yang berisiko memelihara ruang partisipasi sempit politik dan sosial ke depan. Jika MDF-AR ingin menjelma sebagai negarawan Papua,bukan hanya ketua koalisi ,relwan dan tim sukses pemenang, maka ia harus mulai membuka pintu kepada mereka yang pernah berbeda pilihan.
Bukan untuk melemahkan barisannya, tapi justru untuk memperkuat legitimasi moral dan sosial di Papua,"tandasnya.
Memimpin Papua saat ini yang dibutuhkan bukan sekadar gestur simbolik atau pidato persatuan. Yang dibutuhkan adalah rekonsiliasi struktural, dengan memberikan ruang bagi tokoh yang sempat berada di kubu lawan untuk berkontribusi dalam pembangunan Papua. Tentunya dengan kriteria profesional, merit-based, dan kontribusi nyata.
Dengan begitu, Papua bukan hanya menjadi tanah Papua yang dibangun oleh pemenang, tetapi juga menjadi ruang perjumpaan semua kekuatan politik yang pernah berkompetisi.
Kata dia, jika MDF-AR terus bermain aman dalam barisan loyalis, maka akan ada dua risiko jangka menengah. Pertama, erosi dukungan eksternal di mana rival yang tidak dirangkul bisa menjadi oposisi aktif, baik di legislatif maupun di ranah publik.
Kedua, kelelahan loyalis, ketika struktur kekuasaan hanya diisi orang “dalam”, publik bisa menilai bahwa Papua tidak dikelola dengan prinsip meritokrasi, melainkan kronisme yang dilanggengkan.
Ujung dari semua ini adalah berkurangnya kepercayaan politik. Legitimasi tidak akan cukup jika hanya dibangun dari dalam. Dan MDF -AR nyatanya memiliki ruang dan kesempatan mengubah hal tersebut.
Langkah MDF-AR dalam menunjuk pembantu yang akan datang dari barisan pendukungnya memang sah dan wajar. Tapi itu belum cukup menjadi ukuran nyali politik. Kemenangan dalam pemilu adalah satu hal. Tetapi menyatukan tanah Papua setelah pilkada adalah hal lain yang jauh lebih berat dan lebih agung. “Peburuan jabatan SKPD Pemprov Papua ” agaknya bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi, tapi tentang siapa yang dilibatkan dalam proyek bersama membangun Papua.
Dan jawaban atas itu, hanya bisa diberikan oleh MDF-AR sendiri, apakah ia pemimpin yang aman di singgasana, atau negarawan yang berani menyatukan Papua paska Pilkada.*