Prolog
Ketika Agus Fatoni dilantik sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Papua, publik tahu bahwa ia bukanlah sosok permanen, melainkan sekadar penjaga gawang transisi politik. Namun, sebagaimana pepatah, meski sebentar singgah, tamu tetaplah ditunggu dengan penuh harap. Ekspektasi masyarakat Papua sederhana: kehadiran Agus Fatoni dapat memberikan kontribusi nyata, bukan sekadar mengisi ruang kosong birokrasi.
Sayangnya, di penghujung masa jabatannya, banyak yang menilai ia hanya hadir sebagai bayangan. Kami bahkan tak segan memberikan angka nilai 4 dari 10 untuk kinerjanya. Bukan hanya karena prestasi yang minim, tetapi juga lantaran ia mengawal tugasnya bersama 15 orang tim/staf yang diboyong langsung dari Jakarta—seakan Papua kekurangan anak bangsa yang cakap mendampingi.
Bukan Pemimpin Papua
Penulis tak bisa lupa momen di Sasana Krida, ketika Agus Fatoni memberikan sambutan di hadapan tokoh-tokoh agama Islam. Kata-katanya terdengar kaku, dingin, dan lebih menyerupai pidato birokrat pusat yang sedang membaca naskah standar. Padahal, Papua tidak butuh pejabat pembaca teks; Papua butuh pemimpin yang bisa menenangkan hati.
Sebagai saksi langsung, penulis merasa tergelitik. Ada dorongan kuat untuk mengajukan klarifikasi, untuk bertanya: Apakah begini caranya seorang pemimpin bicara di tanah yang sarat luka dan harapan? Namun mekanisme acara yang kaku dan protokol yang ketat membuat mulut ini terkunci. Yang tersisa hanyalah kesan getir: sambutan itu tidak semestinya keluar dari mulut seorang pemimpin yang arif dan bijaksana karena bahasa seorang pemimpin adalah jembatan hati. Ketika ia gagal berbahasa dengan jiwa, maka yang runtuh bukan hanya jembatan, tapi juga kepercayaan rakyat.
Kehilangan Sinyal
Ada satu hal yang tak bisa dipungkiri: protes rakyat di Papua bukanlah sekadar ekspresi spontan, melainkan akumulasi keresahan. Tutur kata, sikap, dan perilaku Agus Fatoni yang terkesan sarat dengan aroma politik praktis—terutama di saat proses PSU (Pemungutan Suara Ulang) sedang berlangsung—menjadi bahan bakar utama keresahan itu.
Namun, alih-alih hadir dan menenangkan, Agus Fatoni memilih jalan lain: menghindar. Jika ada suara lantang masyarakat, pintu rapat ditutup rapat, telepon genggam mendadak “kehilangan sinyal”, dan ruangan kerja seketika menjelma benteng sunyi.
Publik pun berbisik lirih, lalu makin lantang: “Inikah pemimpin yang seharusnya berdiri di depan badai, atau sekadar birokrat yang lari ke belakang meja?”
Dalam terminologi kepemimpinan, tindakan itu disebut “avoidance leadership”—gaya kepemimpinan yang lebih sibuk menutup telinga ketimbang membuka hati. Dan Indonesia kekinian, gaya ini justru melahirkan kecurigaan serta mempertebal jarak antara pemerintah dan rakyatnya, yang pada akhirnya memperparah gejolak sosial.
Bayang-Bayang Proyek
Seakan belum cukup, kini beredar rumor di kalangan pengusaha Papua. Konon, ada klaim dari sejumlah pihak yang menyebut diri sebagai bagian dari “tim Agus Fatoni” untuk mengurusi berbagai proyek di lingkungan SKPD Papua. Rumor ini menyebar cepat, bagai api yang membakar ilalang kering.
Jika rumor ini dibiarkan tanpa klarifikasi, bukan tidak mungkin label baru melekat: Pj Perampok Uang Papua. Label yang tentu mencederai marwah jabatan gubernur dan menambah luka kepercayaan rakyat.
Padahal, eksistensi pembangunan infrastruktur, serta program kesejahteraan rakyat mestinya menjadi prioritas. Yang terjadi justru sebaliknya: publik lebih sibuk membicarakan siapa yang mengawal proyek, ketimbang merasakan manfaat dari program itu sendiri
Penutup
Papua telah kenyang dengan pemimpin transisi yang datang silih berganti, bak aktor figuran dalam panggung besar republik. Namun, dari setiap pengalaman, rakyat Papua belajar menilai: siapa yang benar-benar hadir dengan hati, dan siapa yang hanya singgah membawa tim dari Jakarta.
Agus Fatoni boleh saja mengakhiri masa tugasnya, tapi jejaknya tetap tertinggal. Jejak yang menunjukkan betapa harapan bisa kandas ketika kepemimpinan tak berpadu dengan kebijaksanaan.
Dan bagi rakyat Papua, satu pelajaran abadi tetap terpatri: pemimpin sejati bukanlah yang bersembunyi saat rakyat bersuara, melainkan yang berani berdiri di tengah badai, menatap mata rakyatnya, lalu berkata: “Aku mendengarmu.”