5 Pekerja Belum Ditemukan

Insiden Tambang Bawah Tanah Freeport, Komnas HAM: Ini Kelalain dan Kami Minta Klarifikasi Standar Bisnis dan HAM Mereka

Ilustrasi wartaplus.com

JAYAPURA,wartaplus.com - Insiden longsor material basah di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC), Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, terjadi pada Senin, 8 September 2025, sekitar pukul 22.00-23.21 WIT.

Kejadian ini menyebabkan tujuh pekerja terjebak di dalam tambang. Dari jumlah tersebut, dua pekerja ditemukan meninggal dunia dan berhasil dievakuasi, Sabtu, 20 September 2025, sekitar pukul 08.45 WIT. Keduanya adalah kru elektrik dari PT Cita Contract (atau PT Cipta Kontrak) di bawah Divisi Operation Maintenance PT Freeport Indonesia (PTFI).

Sementara itu, pencarian terhadap lima pekerja yang masih terjebak terus berlangsung hingga hari ke-18 (per 25 September 2025). Tim Under Ground Mining Response (UGMR) PTFI bekerja siang-malam meskipun menghadapi tantangan besar, seperti pergerakan material basah, risiko tinggi, lokasi yang semakin dalam, dan keterbatasan udara. Perusahaan telah menghentikan seluruh operasi penambangan untuk memprioritaskan upaya penyelamatan, termasuk penggalian dari dua jalur akses, pembuatan lubang vertikal tambahan dengan mesin raisebore, serta penurunan alat berat seperti loader kendali jarak jauh.

Ketua Komnas HAM Papua Frits Bernard Ramandey mengapresiasi kerja keras pencarian 5 korban ini. "Namun kejadian ini menunjukan ada kelalaian sebab ini bukan kejadian pertama kendati skalanya berbeda. Komnas HAM berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan operasional puluhan tahun ini apakah memenuhi standar bisnis dan HAM. Dan Komnas HAM mendesak PT Freeport dimana nasib lima karyawan lainnya,"ujar Frits kepada wartaplus.com, di ruan kerjanya, Jumat (25/9/2025) siang..

Ditegaskan, Komnas HAM Papua akan meminta klarifikasi manajemen PT Freeport. "Pertama perihal standar bisnis dan HAM dan kedua bagaimana kondisi sesungguhnya  lima korban lain,"ujarnya.

Karena, pemegang sahamnya selain pemerintah Indonesia ada juga pihak asing. "Dan Indonesia telah menjadi bagian standar bisnis dan HAM,"kata Ramandey.

Freeport Sebagai Bagian dari Standar Bisnis dan HAM

"Standar Bisnis dan HAM" merujuk pada kerangka Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UN Guiding Principles on Business and Human Rights/UNGPs), yang diterbitkan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 2011. Prinsip ini menetapkan standar global bagi perusahaan untuk menghormati HAM dalam operasional bisnis, termasuk menghindari pelanggaran, memitigasi risiko, dan memberikan remediasi bagi korban.

Di Indonesia, UNGPs diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM dan regulasi seperti UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menekankan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan kepatuhan HAM.

Freeport sering disebut sebagai contoh kasus (case study) dalam implementasi standar bisnis dan HAM, terutama karena kontroversi sejarahnya yang melibatkan pelanggaran HAM, dampak lingkungan, dan isu keamanan.

"Secara keseluruhan, Freeport menjadi "bagian" dari standar bisnis dan HAM sebagai ilustrasi bagaimana perusahaan multinasional harus menyeimbangkan profit dengan tanggung jawab etis,"tegas Ramandey.