JAYAPURA,wartaplus.com - Raja Ampat bukan kawasan biasa salah satu surga biodiversitas laut dunia yang sudah diakui UNESCO sebagai Global Geopark. Penambangan nikel di Pulau Gag jadi 'peledak' semua aktifis dan publik ramai-ramai minta selamatkan Raja Ampat.
Memang ada statement soal informasi di Gag itu hoax dan disini pejabat local terlihat under pressure. Yang perlu diketahui adalah mengapa masyarakat menginginkan kepala daerah adalah putra- putri dari daerah setempat? Itu agar ia memahami betul persoalan ditingkat akar rumput sekaligus memahami cara penyelesaiannya yang terjadi di Raja Amp
"Kami justru mengapresiasi Wagub Merauke, Paskalis Imadawa yang secara pribadi menolak Proyek Strategis Nasional meski ke secara politis ini bertolak belakang dengan semangat pembangunan pemerintah saat ini,"ujar Gamel Abdel Naser peraih penghargaan dari organisasi lingkungan World Wildlife Fund (WWF) for Nature tahun 2009, dan 2018
Ditegaskannya, kami tidak menolak pembangunan tapi sekali lagi kami meminta pembangunan yang berkearifan lokal. Artinya tidak menabrak rambu-rambu undang-undang terlebih apa yang sudah tertanam di tengah masyarakat adat semisal cara masyarakat adat memanfaatkan hutan untuk kehidupannya.
"Kami sudah memprediksi bahwa akan ada statemen seperti ini (bantahan dari tokoh local) dan setelahnya akan muncul oknum yang mengatasnamakan masyarakat adat. Ini cara-cara lama oligarki, cara-cara klasik yang selalu digunakan untuk melemahkan yang kemudian akan menghadirkan konflik sesama antar suku dan masyakat kemudian menghadirkan aparat untuk pengamanan perusahaan,"tandasnya.
Pentolan-pentolan masyarakat adat, aktivis maupun NGO biasa akan didekati untuk dilemahkan. Kami berharap masyarakat dan para aktivis tetap fokus pada perjuangan, jangan mau dilemahkan.
Diakuinya, ada senior Rumah Bakau pernah ke Gag dan kondisi yang ramai dibicarakan itu memang ada. “Tahun 2017 saya sempat 2 minggu di Gag dan ketika itu mereka (perusahaan) baru membangun portocamp, landclearing dan jalan ke lokasi tambang. Jadi sesungguh secara operasional di Gag ini sudah dari tahun 2017,”ujar senior Rumah Bakau yang tak mau namanya di publish.
Saat ini sejumlah pulau di Raja Ampat telah dieksloitasi dan itu menyalahi Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K) yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 1 tahun 2014 yang menyebut soal perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
“Dan jika berbicara aspek berkelanjutan apa yang nanti dilanjutkan? hutan rusak, laut tercemar, dan pulau hancur jadi apa yang berkelanjutan,”cecar Gamel yang juga Founder dan Koordinator Rumah Bakau ini.
Dikatakan, open pit mining seperti ini di daerah kepulauan besar saja dampak lingkungannya saja luar biasa apalagi open pit mining yang dilakukan di pulau-pulau kecil seperti di Raja Ampat, pulau Batan Pele, Manyaifun, Kawe dan juga Pulau Gag.
“Ini pulau kecil semua dan resiko dampak lingkunganya luar biasa. Mau pakai teknik apa ini sudah pasti akan memberi dampak buruk bagi pulau dan juga laut disekitar lokasi. Tidak perlu pakai sekolah tinggi melihat kerusakan ini karena secara kasat mata saja sudah bisa disaksikan langsung,” tambah Gamel.
Penyakit Kurap
Sayangnya, punggung-punggung bukit, gunung yang dulunya lancip dan menjadi daya tarik wisata kini hilang dan lebih mirip seperti penyakit kurap, merah dimana-mana dan terus menyebar.
"Kami berharap teman-teman aktivis di Raja Ampat maupun NGO nasional tetap bersuara termasuk para akademisi bisa ikutan speak up influencer. Ini berbicara masa depan tanah yang harus dijaga karena menjadi titipan Tuhan. Kalaupun ada yang kontra itu biasa, tetap fokus pada perjuangan menolak penambangan Nikel di Raja Ampat,"harapnya