JAYAPURA, wartaplus.com - Mencermati perkembangan menuju Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Gubernur Papua pasca keputusan MK, Juru Bicara pasangan Matius Fakhiri - Aryoko Rumaropen (MARIYO), Muhammad Rifai Darus menyampaikan tiga poin penting yaitu:
Pertama, bahwa KPU Papua bekerja tidak sesuai dengan tahapan dalam putusan MK. Misalnya, dalam penetapan nomor urut pasangan tidak serta merta nomor urut lama lalu dilanjutkan kembali dalam PSU.
"Tahapan pencabutan nomor urut menjadi bagian dalam tahapan PSU sebagai bentuk implementasi putusan MK terhadap Pilgub Papua," ujarnya dalam rilis yang diterima wartaplus.com, Senin (24/03/2025).
Kedua, bahwa pencalonan bapak Constant Karma sebagai Calon Wakil Gubernur berpasangan dengan Benhur Tomi Mano (BTM) yang kemudian dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU Papua adalah langkah yang melanggar UU No 10 Tahun 2016 pasal 7 point O yang secara tegas berbunyi "belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon wakil gubernur, atau bupati/walikota untuk calon wakil bupati/calon wakil walikota pada daerah yang sama".
Ketiga, masalah indikasi suap yang terjadi kepada salah satu komisioner KPU Papua akan terus menjadi perhatian serius kami dikarenakan merusak sendi sendi demokrasi dan moralitas penyelenggara.
"Untuk ketiga hal diatas, maka kami sampaikan dan pastikan secara tegas akan menempuh jalur hukum yang telah disediakan oleh negara untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran baik melalui Bawaslu, Kepolisian maupun lembaga anti rasuah," tegas Rifai.
Menurutnya, hal ini menjadi penting untuk bagaimana kita ikut mengawal demokrasi dan hak rakyat agar KPU Papua bekerja profesional dan tidak terlihat main main, seperti yang dikhawatirkan Pj Gubernur Papua Ramses Limbong.
"Pengalaman pelaksanaan pilgub 2024 yang menghabiskan dana rakyat sangat besar dan akhirnya bertambah lagi dana rakyat harus dikeluarkan untuk PSU 2025 sehingga jangan lagi menjadi kesalahan yang sama," tegasnya mengingatkan.
Politisi partai Demokrat ini juga menekankan agar proses PSU wajib berjalan sesuai dengan peraturan dan regulasi yang berlaku.
"Kami tidak ingin PSU ini melahirkan PSU lagi yang disebabkan karena tidak profesionalnya KPU Papua , tidak ada kehati hatiannya KPU Papua, tidak telitinya KPU Papua, tidak jujurnya KPU Papua yang mengakibatkan kerugian besar bagi penggunaan keuangan daerah dan tentunya suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang terkesan dipermainkan oleh KPU Papua," ucapnya.
"Kami ingin semua berjalan baik dan benar, agar hal hal tersebut tidak terjadi lagi. Mari kita bekerja secara profesional dan dengar dengaran diatas Tanah Papua yang diberkati ini," tutupnya.**