JAYAPURA, wartaplus.com - Panggung politik Papua kembali menghangat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) adalah babak baru yang tak bisa dihindari. Ini dikemukakan Pemerhati Sosial Politik Papua Suwandi Idris kepada wartaplus.com, Selasa pagi.
Ungkapnya in sebuah keputusan moderat, bukan hanya sebagai produk hukum, tetapi juga sebagai strategi politik yang perlu diapresiasi.
Dalam demokrasi, kesempatan kedua adalah ujian sesungguhnya.
Mathius D Fakhiri (MDF) kini punya ruang untuk membuktikan diri. Apakah ia benar-benar pemimpin yang diinginkan rakyat Papua? Ataukah gelombang dukungan akan kembali berpihak pada Benhur Tomi Mano (BTM) ?
Satu hal yang pasti, pertarungan kali ini akan lebih dinamis, lebih dramatis. 180 hari ke depan akan menjadi medan evaluasi total.
"Setiap tim sukses sudah membaca peta, mengukur kekuatan, dan merancang strategi ulang. Papua tak hanya menjadi ajang kontestasi lokal, tapi juga panggung politik nasional. Koalisi KIM, yang sudah merasakan pahitnya kekalahan, tentu tak ingin jatuh untuk kedua kali,"ujarnya.
MDF: Memperbaiki Langkah, Mengokohkan Basis
Hasil Pilkada Papua 2024 adalah catatan merah bagi 12 pimpinan partai dalam Koalisi KIM. Koalisi yang digadang-gadang permanen ini diuji, bukan hanya soal strategi politik, tapi juga soal soliditas internal.
"MDF tak bisa mengabaikan kekalahan di Kabupaten Jayapura, Kepulauan Yapen, Sarmi, Supiori, dan Mamberamo Raya. Ini titik lemah yang harus diperbaiki. Jika komunikasi politik diperbaiki dan peran partai pengusung dimaksimalkan, peluang MDF terbuka lebar. PKB, misalnya, memiliki suara dominan di Kepulauan Yapen. Jika MDF mampu menggerakkan mesin partai dengan lebih efektif, bukan tidak mungkin suara BTM di sana akan tergerus,"tandasnya.
Namun, politik tak sesederhana matematika. Ada variabel-variabel tak terduga, ada faktor emosional yang bisa mengubah peta dalam sekejap.
BTM: Meracik Strategi, Mewaspadai Gelombang
Di sisi lain, BTM tak bisa hanya berpegang pada kemenangan tipis 7.193 suara. Itu angka yang rapuh. Dengan dinamika politik nasional yang sedang panas—dari konsolidasi KIM di Hambalang, penahanan Sekjen PDIP, hingga seksi-nya isu Papua—BTM harus membaca situasi dengan cermat.
"Politik selalu punya mitosnya sendiri. Dan kini, beredar narasi: Negara belum merestui. Isyarat yang bisa menjadi alarm bagi BTM dan timnya. Kekalahan di Biak Numfor, Keerom, Waropen, dan Kota Jayapura menjadi tanda bahwa ada celah dalam strategi komunikasi dan konsolidasi BTM-YB. Suara masyarakat Seireri dan Nusantara masih belum digarap maksimal. Jika tak segera ditangani, suara-suara itu bisa berbalik arah,"ujarnya.
Ada satu pertanyaan besar yang menggantung di udara: Siapa yang akan menggantikan YB? BTM butuh figur baru, seseorang yang bukan sekadar pasangan politik, tapi juga jembatan antara daerah dan pusat. Sosok yang tak hanya populer, tapi juga punya daya mobilisasi dan kapasitas untuk merangkul suara dari berbagai elemen.
Akankah BTM menemukan sosok itu? Atau justru MDF yang lebih dulu mengunci langkah kemenangan?
"180 hari ke depan, Papua akan menjadi panggung drama politik yang lebih besar. Ini bukan sekadar Pilkada, ini adalah pertarungan strategi, emosi, dan kepentingan,"ujarnya.
Babak baru telenovela politik Papua dimulai. Kita tinggal menunggu, siapa yang akan keluar sebagai sutradara terbaik.*