Menganalisa Kemenangan Benhur Tomi Mano-Yeremias Bisai di Pilkada Papua

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua nomor urut 1, Benhur Tomi Mano dan Yeremias Bisai (BTM-YB), unggul di Pilkada Papua. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua telah menetapkan BTM-YB sebagai pemenang/Foto Istimewa

JAYAPURA,wartaplus.com - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua nomor urut 1, Benhur Tommy Mano dan Yeremias Bisai (BTM-YB), unggul di Pilkada Papua. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua telah menetapkan BTM-YB sebagai pemenang, mengalahkan pasangan nomor urut 2, Mathius Derek Fakiri dan Ariyoko Rumaropen (MDF-AR). Berdasarkan hasil rekapitulasi suara di 9 kabupaten/kota, BTM-YB meraih 269.970 suara atau 51 persen, sementara MDF-AR memperoleh 262.777 suara atau 49 persen.

Direktur Eksekutif Political Consultant and Strategic Campaign Nasarudin Sili Luli, Minggu (15/12/2024) malam mengatakan, dari hasil penetapan KPU Provinsi Papua diatas ada beberapa faktor yang mempengarui (BTM-YB) mengungguli pasangan calon (MDF-AR).


Foto: Direktur Eksekutif Political Consultant and Strategic Campaign Nasarudin Sili Luli/ Istimewa.

"Dalam analisis  saya, dalam konteks  pilkada Papua, ada beberapa alasan mengapa (MDF-AR ) dalam  koalisi besar 17 parpol pengusung paslon (MDF-AR) yakni Partai Golkar, Nasdem, Demokrat, PKS, Perindo, PAN, PKB, Gerindra, PSI, PPP, Buruh, Gelora, Hanura, Garuda, PBB, PKN dan Ummat gagal  mendapat  dukungan elektoral yang signifikan? Dibandingkan dengan pasangan calon (BTM-YB) hanya didukung oleh dua parpol yaitu PDIP dan PKN,"ujarnya.

Pertama, basis dukungan parpol khususnya di Papua  sebetulnya sangat tipis dan rapuh. Kesimpulan ini merujuk pada party-ID yang rendah. Party-ID adalah tingkat kedekatan, baik emosional dan psikologis, dari pemilih terhadap partai . Ketika koalisi politik tidak berpijak di atas ideologi atau program politik, maka membaca manuver elite parpol daerah (papua) dan nasional  tak ubahnya membaca arah jalan sopir bajaj; sulit ditebak.

"Ada yang membaca peta koalisi itu dengan hitungan matematika sederhana: menambahkan perolehan suara atau kursi semua partai dalam koalisi. Hasilnya gampang ditebak: koalisi jumbo paling berpeluang memenangkan Pilkada Namun, hitungan di atas kertas semacam itu seringkali memunggungi real-politik seperti yang terjadi pada pilkada Papua kali ini,"ujarnya.

Ungkapnya, ada banyak preseden politik yang memperlihatkan bahwa Daud bisa mengalahkan Goliath dalam pertarungan elektoral. Tidak usah jauh-jauh, pengalaman pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi-Ahok yang diusung hanya oleh dua parpol bisa mengalahkan kandidat yang diusung oleh lusinan partai. Seperti halnya sejarah berulang kembai hal yang terjadi kembali pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2024, Pramono-Rano yang hanya diusung oleh PDI Perjuangan.

Tidak Menjamim

Pilkada Papua yang dimenangkan oleh pasangan calon (BTM-YB) memberikan kita kejutan dan  gambaran utuh bahwa koalisi besar tidak menjamin kemenangan electoral secara signifikan .

"Menurut analisis  saya, dalam konteks Pilkada Papua, ada beberapa alasan mengapa koalisi besar tidak selalu identik dengan potensi dukungan elektoral yang besar. Hasil survey baru –baru ini memperlihatkan hanya 11,7 persen orang di Indonesia merasa punya ikatan psikologis dengan parpol tertentu dan akan memilih parpol itu kapan pun pilkada digelar. Sebaliknya, hampir 90 persen pemilih Indonesia tidak punya ikatan emosional dan psikologis dengan parpol tertentu. Mereka gampang berpindah haluan dan pilihan politik. Dengan party-ID yang rendah, agak serampangan jika waktu kampanye yang lalu Tim sukses atau tim koalisi (MDF-AR) menjadikan perolehan suara atau kursi pada pemilu sebelumnya sebagai basis kalkulasi elektoral. Sebab, basis suara itu ibarat gelembung sabun yang gampang pecah,"tandasnya.

Kedua, tidak ada pengikat ideologis yang erat pasangan calon (MDF-AR)  dengan massa pemilih, sebab beliau(MDF) baru selesai purna tugas dikepolisian, belum punya pengelaman dalam pertarungan politik maupun menjadi kader atau pengurus parpol,Kondisi ini justru beda dengan (BTM) beliau adalah kader parpol, beliau juga 10 tahun menjadi wali kota Jayapura artinya punya pengalaman yang cukup untuk bertarung pada arena perpolitikan Papua, sebab sekali lagi beliau punya ikatan emosional dengan masyarakat dan basis massa yang terukur .

Tak Punya Pijakan

"Hampir semua parpol di Papua tak punya pijakan ideologi yang kuat. Sebagian besar hubungan elite dan massa dibentuk oleh jejaring patron-klien. Tanpa pengikat ideologis, para elite partai tak punya kapasitas untuk menggerakkan massa pemilih secara konsensual. Sementara patron-klien butuh biaya untuk merawatnya, baik politik uang maupun pembajakan program sosial negara untuk disiramkan ke bawah,hal ini menurut saya pasangan calon (MDF-AR) tidak secara optimal menggunakan mesin parpol yang tergabung dalam koalisi besar tersebut,dalam pengamatan saya justru relawan yang menjadi mesin utama pemenangan (MDF-AR),"tandasnya.

Ketiga, dalam konteks Papua tingkat kepercayaan (trust) pemilih terharap parpol sangat rendah. Dari berbagai survei, parpol selalu menjadi lembaga politik yang paling tidak dipercaya publik.

Tentu saja, rendahnya tingkat kepercayaan menciptakan jarak yang jauh antara parpol dan rakyat. Parpol tidak memiliki daya tarik politik bagi sebagian besar rakyat. Tidak mengherankan, pada setiap Pilkada, pemilih lebih mengutamakan figur ketimbang Parpol,itu sebabnya ketika dua sosok yang dimunculkan kepublik Papua  (BTM-YB) lebih di gandrungi oleh masyarakat Papua,sebab mereka melihat sosok figur yang sudah pengalaman ,ketimbang memilih sosok yang belum punya rekam jejak memimpin suatu daerah.

Keempat, soal koalisi dan dukungan pilkada Papua  kemarin, seringkali tidak melalui proses yang demokratis dan partisipatif. Seringkali keputusan politik strategis tidak mendengar aspirasi dari bawah. Akibatnya, belum tentu semua struktur partai maupun kadernya tegak lurus dengan keputusan pucuk pimpinannya.

Hal ini yang dialami oleh (MDF–YB) punya infrastruktur partai yang begitu jumbo,akan tetapi tidak semua struktur , pengurus bahkan kader dan simpatisan partai justru tidak tegak lurus terhadap  rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPP, banyaknya parpol koalisi alih-alih berpikir untuk strategi pemenangan , justru sibuk mengurus dinamika internal yang tak kesudahan, sebab masing-masing parpol koalisi mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, jutru (BTM-YB) sebaliknya .

Dikatakannya, ada banyak presedennya di setiap Pemilu maupun Pilkada. Tak bisa dipungkiri, koalisi gemuk berpotensi menarik pemilih dari berbagai latar belakang. Selain itu, koalisi gemuk juga menjanjikan stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif ketika berhasil berkuasa. Namun, koalisi gemuk juga menyimpan bahaya, seperti mayoritarianisme , matinya check and balance, dan politik kartel pada pilkada mendatang.*