SEBUAH pesawat kecil mendarat di landasan terpencil Papua. Pilot Philip Mertens, warga Selandia Baru, turun dari kokpit.
Mertens tidak menyadari bahwa ia akan menghabiskan 1,5 tahun hidupnya keluar masuk hutan, sebagai sandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Awalnya, KKB berniat menggunakannya sebagai alat tawar untuk kemerdekaan Papua. Namun, pada 21 September 2024, setelah negosiasi panjang yang melibatkan tim gabungan TNI-Polri, Mertens akhirnya dibebaskan di kampung Yuguru, Distrik May Bararok, Kabupaten Duga.
Kisah pembebasan Mertens ini menunjukkan kekuatan kearifan lokal dan peran vital tokoh adat dalam resolusi konflik. Artikel ini akan mengupas bagaimana pendekatan berbasis budaya menjadi kunci keberhasilan dalam situasi yang kompleks dan sensitif.
Peran Vital Tokoh Adat dalam Negosiasi
Dalam proses negosiasi pembebasan Mertens, tokoh adat memainkan peran krusial sebagai jembatan komunikasi antara tim negosiator dan kelompok penyandera.
Bayangkan mereka sebagai penerjemah budaya, layaknya seorang guru bahasa yang tidak hanya menerjemahkan kata-kata, tetapi juga menjelaskan nuansa dan konteks di baliknya. Mereka membantu kedua belah pihak 'berbicara dalam bahasa yang sama', bukan hanya secara literal, tetapi juga secara kultural.
Bentuk keterlibatan tokoh adat beragam, dari memimpin musyawarah adat hingga menjadi penjamin kesepakatan. Efektivitas pendekatan ini terbukti dalam berbagai konteks, seperti di Kecamatan Lahewa, Nias Utara, di mana 80% konflik sosial berhasil diselesaikan melalui mediasi yang difasilitasi oleh camat menggunakan pendekatan kearifan lokal (Harefa et al., 2019).
Membangun Kepercayaan Melalui Pemahaman Budaya Dalam proses negosiasi pembebasan Mertens, pemahaman budaya lokal menjadi kunci utama.
Tokoh adat, dengan pengetahuan mendalam mereka, berperan sebagai penerjemah budaya yang menjembatani perbedaan persepsi dan ekspektasi. Pendekatan ini mirip dengan praktik penyelesaian konflik di daerah lain di Indonesia, seperti di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Allolayuk et al., 2024).
Keberhasilan pendekatan ini terletak pada kemampuan tokoh adat untuk
1. Menerjemahkan maksud dan tujuan kedua belah pihak dengan cara yang dapat diterima secara kultural.
2. Memfasilitasi komunikasi yang efektif dengan mempertimbangkan sensitivitas budaya.
3. Membangun rasa saling percaya melalui penerapan nilai-nilai adat yang dihormati oleh semua pihak.
Dengan pendekatan berbasis budaya ini, negosiasi tidak hanya menjadi proses teknis, tetapi juga menjadi proses sosial yang memperkuat ikatan komunitas dan memulihkan keseimbangan yang terganggu akibat konflik.
Pelajaran Berharga dari Peran Tokoh Adat
Keberhasilan pembebasan Mertens menyoroti beberapa pelajaran berharga dalam resolusi konflik berbasis kearifan lokal:
1. Kekuatan Dialog dan Pemahaman Budaya
Penyelesaian konflik tanpa kekerasan terbukti efektif melalui pendekatan lunak yang mengedepankan dialog. Dalam kasus Mertens, dialog yang difasilitasi tokoh adat membuka jalan bagi solusi damai. Memahami dan menghormati budaya lokal menjadi fondasi dalam membangun kepercayaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua pihak. Tokoh adat, dengan pengetahuan mendalam mereka, berperan sebagai jembatan budaya yang vital dalam proses ini.
2. Peran Strategis Tokoh Adat
Tokoh adat bukan sekadar simbol budaya, melainkan aset berharga dalam resolusi konflik. Legitimasi sosial yang kuat dan pemahaman mendalam tentang dinamika lokal menjadikan mereka mediator yang efektif.
3. Fleksibilitas dalam Pendekatan
Kasus Mertens menunjukkan bahwa tidak ada pendekatan "satu ukuran untuk semua" dalam resolusi konflik. Keberhasilan pembebasan ini menekankan pentingnya fleksibilitas dan adaptasi terhadap konteks lokal.
4. Konstruksi Sosial dalam Resolusi Konflik
Mengacu pada Teori Konstruktivisme Sosial yang dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, kita melihat bagaimana realitas sosial, termasuk konflik dan resolusinya, dibangun melalui interaksi dan pemahaman bersama. Tokoh adat dalam kasus Mertens berperan sebagai 'arsitek sosial', membantu membangun realitas baru yang mendukung perdamaian.
5. Pendekatan Transformatif
Strategi yang digunakan dalam pembebasan Mertens mencerminkan 'pendekatan transformatif' dalam studi resolusi konflik. Fokusnya bukan hanya pada penyelesaian masalah, tetapi juga pada perubahan hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik, menciptakan dasar yang lebih kuat untuk perdamaian jangka panjang.
Pelajaran-pelajaran ini menegaskan bahwa resolusi konflik yang efektif memerlukan pemahaman mendalam tentang konteks lokal, fleksibilitas dalam pendekatan, dan kemampuan untuk memfasilitasi perubahan positif dalam hubungan antar pihak yang berkonflik.
Refleksi dan Langkah ke Depan
Pembebasan Philip Mertens membuka jalan baru dalam penanganan konflik di Indonesia, menunjukkan potensi kearifan lokal sebagai model resolusi konflik. Indonesia memiliki beragam tradisi seperti 'pela gandong' dan 'dalihan na tolu' yang dapat dimanfaatkan. Meski setiap konflik unik, peran tokoh adat dan kearifan lokal harus selalu dipertimbangkan.
Kasus Mertens membuktikan kekuatan pendekatan berbasis budaya dalam resolusi konflik. Keterlibatan tokoh adat, pemahaman budaya lokal, dan pelajaran dari proses ini menjadi elemen kunci keberhasilan. Di tengah modernitas, nilai-nilai tradisional tetap relevan dan kuat. Pendekatan yang menghormati kearifan lokal dapat menjadi jalan efektif menuju perdamaian berkelanjutan di Indonesia.
Penulis: Aidhil Pratama
Kearifan Lokal Mengalahkan Kekerasan: Kunci Bebas Pilot Mertens di Papua
Pilot Philip Mertens/Istimewa