Polda Papua Lakukan Pemeriksaan Penyalahgunaan Uang di Kabupaten Tolikara

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Kombes Pol Ignatius Benny Ady Prabowo, SH, SIK, M.Kom/Humas Polda

JAYAPURA,wartaplus.com - Kepolisian Daerah (Polda) Papua bersama Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Papua saat ini masih menguatkan bukti-bukti pemeriksaan kasus tindak pidana Korupsi penyalahgunaan uang sebesar Rp 16.108.000.000 tahun 2017 di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua Pegunungan.

“Saat ini kami masih menguatkan bukti-bukti di antaranya akan melakukan audit investigasi bersama BPKP Provinsi Papua,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Kombes Pol Ignatius Benny Ady Prabowo, SH, SIK, M.Kom, Kamis (30/5/2024).

Selain itu, lanjut Benny, pihak Polda Papua juga akan melakukan klarifikasi kembali dengan para saksi dan melakukan gelar perkara untuk meningkatkan perkara ke penyidikan. “Kita masih kerja keras, mengejar waktu yang terus berjalan. Mohon kesabarannya rekan-rekan wartawan,” kata Benny menambahkan.

Benny diminta tanggapannya menyusul desakan pegiat anti korupsi Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (Kompak) Indonesia Gabriel de Sola kepada Kapolri Jenderal Polisi Drs Listyo Sigit Prabowo, M.Si mencopot Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri, SIK dari jabatannya. 

Desakan de Sola mengemuka karena Polda Papua dinilai lamban menyelesaikan kasus penyalahgunaan uang belasan miliar tahun 2017 di Sekretariat DPRD Tolikara. Karena itu, Kapolda segera memerintahkan bawahannya menindaklanjuti proses penyelidikan yang sudah dilakukan sebelumnya kemudian menetapkan tersangka.

“Laporan masyarakat terkait kasus penyalahgunaan Rp 16.108.000.000  di Polda Papua diduga kuat dipetieskan. Karena itu, Pak Kapolda segera memerintahkan bawahannya untuk menuntaskan, Kasus itu sudah jadi atensi publik. Bila lamban diselesaikan, kami mendesak Kapolri segera mencopot Kapolda Papua karena mengabaikan laporan masyarakat,” kata de Sola kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/5).

Menurut Gabriel, bila penanganan kasus tersebut di Polda Papua berjalan lamban Kompak Indonesia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganannya. Pasalnya, kasus penyalahgunaan uang Rp 16.108.000.000 tersebut sudah terjadi tahun 2017.

“Laporan hasil temuan BPK RI Perwakilan Papua sudah jelas menunjukkan terjadi penyalahgunaan keuangan tahun 2017 di Sekretariat DPRD Tolikara senilai Rp 16.108.000.000. Mestinya, uang rakyat Tolikara untuk membangun kabupaten itu sudah diselamatkan dan bukan dibuat bertele-tele tanpa penyelesaiannya,” lanjut de Sola.

Menurut de Sola, salinan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Papua atas Laporan Keuangan Pemda Tolikara Nomor 17.C/LHP/XIX.JYP/06/2018 tertanggal 21 Juni 2018 yang diperoleh dari pemberitaan media menyatakan, realisasi belanja makanan dan minuman pada Sekretariat DPRD Tolikara senilai Rp. 16.108.000.000 tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

Hasil temuan BPK tersebut sudah diadukan ke Polda Papua, namun tak kunjung ada proses hukum selanjutnya. Deiron Wenda, salah seorang warga pada 11 Oktober 2023 juga sudah mengadukan kasus dugaan penyalahgunaan keuangan negara sebesar Rp 16 miliar lebih Polda Papua melalui Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus, namun nasib aduannya belum ditindaklanjuti hingga kini.

Hasil laporan BPK RI Perwakilan Papua menyebutkan, realisasi belanja makanan dan minuman pada Sekretariat DPRD Tolikara senilai Rp 16.108.000.000 tidak sesuai dengan kondisi senyatanya. Pemda Tolikara menyajikan realisasi belanja barang dalam laporan realisasi anggaran (LRA) per 31 Desember 2017 dan 2016 masing-masing sebesar Rp 405.096.953.650 dan Rp 358.679.082.413. Realisasi belanja barang tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp 46.417.871.237 atau sebesar 12,94 persen dari tahun sebelumnya.

Sekretariat DPRD Tolikara menganggarkan belanja barang dan jasa senilai Rp 66.021.345.000 dan direalisasikan senilai Rp 36.356.354.000 atau sebesar 55,07 persen. Belanja barang dan jasa tersebut antara lain berupa belanja makanan dan minuman. Hasil pengujian uji petik terhadap bukti surat pertanggung jawaban (SPJ) perangkat daerah di atas diketahui terdapat bukti SPJ belanja makanan dan minuman yang tidak sesuai kondisi senyatanya pada Sekretariat DPRD.

Hasil pemeriksaan uji petik atas bukti SPJ atas belanja makanan dan minuman pada tabel laporan BPK RI Perwakilan Papua, yaitu untuk belanja makanan dan minuman untuk pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Rapperda) senilai Rp 4.000.000.000 diketahui terdapat bukti pertanggungjawaban belanja makanan dan minuman yang diragukan kebenarannya.

Keraguan kebenaran tersebut berikut. Pertama, SPJ atas pekerjaan makanan dan minuman kepada Rumah Makan F untuk kegiatan pembahasan Raperda tangga 27 September 2017 sebanyak 490 porsi senilai Rp 500.000.000.

Dari hasil konfirmasi tanggal 13 Mei 2018 ke pemilik Rumah Makan F selaku penyedia, diketahui bahwa harga untuk 490 porsi makanan dan minuman adalah sebesar lebih rendah Rp 173.538.800 daripada harga yang tercantum pada bukti SPJ sebesar Rp 500.000.000.

Kedua, SPJ atas pekerjaan makanan dan minuman kepada Rumah Makan A untuk kegiatan Raperda tanggal 26 September 2017 sebanyak 500 porsi senilai Rp 500.000.000. Dari hasil konfirmasi tanggal 12 Mei 2018 ke masyarakat sekitar Rumah Makan A selaku penyedia, diketahui bahwa Rumah Makan A tersebut pada tahun 2017 sudah tutup. Dengan demikian, pelaksanaan pekerjaan tidak diyakini keterjadiannya.

Berdasarkan hasil permintaan keterangan kepada Sekretaris DPRD tanggal 14 Mei 2018, yang bersangkutan mengakui bahwa SPJ belanja makanan dan minuman tersebut tidak sesuai dengan kondisi senyatanya.

Kegiatan pembahasan Rapperda memang benar dilakukan, namun nota dan bukti-bukti dalam SPJ dibuat tidak sesuai dengan kondisi senyatanya dalam hal volume maupun harga. Di antaranya bukti dari Rumah Makan A dan Rumah Makan F, di mana dalam realisasinya tidak sebesar itu, bukti tersebut dibuat hanya untuk memenuhi administrasi.

Hal tersebut dilakukan karena anggota DPRD meminta dana tersebut dicairkan secara tunai. Namun atas kondisi tersebut, Sekretaris DPRD tidak memiliki bukti atau dokumen yang mendukung seperti serah terima uang tunai, daftar kehadiran Rapperda, dan bukti-bukti belanja makanan dan minuman yang riil. Bukti-bukti tersebut dibawa oleh Bendahara Pengeluaran yang lama dan keberadaanya tidak dapat dihubungi.

Hasil pemeriksaan atas dokumen SPJ dan permintaan keterangan Sekretaris DPRD Tolikara tersebut juga diketahui bahwa pembuatan bukti SPJ yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya tersebut juga dilakukan pada belanja makanan dan minuman atas 12 kegiatan tersebut di atas senilai Rp 16.108.000.000.

Selanjutnya dari hasil permintaan keterangan lanjut kepada anggota DPRD diketahui bahwa anggota DPRD tersebut menyatakan tidak menerima uang terkait belanja makanan dan minuman, baik pada kegiatan pembahasan Rapperda maupun kegiatan lainnya



Hal tersebut dilakukan karena anggota DPRD meminta dana tersebut dicairkan secara tunai. Namun atas kondisi tersebut, Sekretaris DPRD tidak memiliki bukti atau dokumen yang mendukung seperti serah terima uang tunai, daftar kehadiran Rapperda, dan bukti-bukti belanja makanan dan minuman yang riil. Bukti-bukti tersebut dibawa oleh Bendahara Pengeluaran yang lama dan keberadaanya tidak dapat dihubungi.

Hasil pemeriksaan atas dokumen SPJ dan permintaan keterangan Sekretaris DPRD Tolikara tersebut juga diketahui bahwa pembuatan bukti SPJ yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya tersebut juga dilakukan pada belanja makanan dan minuman atas 12 kegiatan tersebut di atas senilai Rp 16.108.000.000.

Selanjutnya dari hasil permintaan keterangan lanjut kepada anggota DPRD diketahui bahwa anggota DPRD tersebut menyatakan tidak menerima uang terkait belanja makanan dan minuman, baik pada kegiatan pembahasan Rapperda maupun kegiatan lainnya.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2011 Pasal 132.

Pasal 132 Ayat 1 Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 menyatakan, setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung bukti yang lengkap dan sah. Kemudian, Ayat 2 menyatakan bahwa bukti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus mendapat pengesahan oleh pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebenaran material yang timbul dari penggunaan bukti dimaksud.

Hal tersebut mengakibatkan belanja makanan dan minuman pada 12 kegiatan Sekretariat DPRD Tolikara tidak dapat diyakini kewajarannya senilai Rp 16.108.000.000. Hal tersebut disebabkan karena Sekretaris DPRD Tolikara lalai merealisasikan belanja makanan dan minuman pada 12 kegiatan DPRD Tolikara sesuai kondisi senyatanya.

Atas permasalahan tersebut Pemerintah Kabupaten Tolikara melalui Sekretaris DPRD menyatakan sependapat dan berkomitmen penuh untuk membenahi kondisi yang ada sehingga dikemudian hari tidak terulang lagi kesalahan yang sama.

BPK RI juga merekomendasikan kepada Bupati Tolikara agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Sekretaris DPRD terkait pertanggungjawaban belanja makanan dan minuman tidak sesuai kondisi senyatanya. Kemudian memerintahkan Sekretaris DPRD Tolikara mempertanggungjawabkan nilai belanja makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya setelah melalui verifikasi inspektorat. *