JAYAPURA, wartaplus.com - Balai Wilayah Sungai (BWS) membuat kebijakan dengan melibatkan para pengusaha Orang Asli Papua (OAP) dalam setiap program kegiatan yang dikerjakan. Kebijakan yang dilakukan dengan memberdayakan pengusaha OAP secara merata, hal itu dilakukan secara internal, karena belum adanya regulasi yang mengatur secara rinci.
Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua, Nimbrot Rumaropen ST.MT mengaku, pihaknya banyak menerima permintaan pelibatan pengusaha OAP untuk pekerjaan yang nilainya dibawah Rp1 miliar.
“Kami ambil kebijakan dengan mendata perusahaan OAP mana saja yang sudah dapat pekerjaan selama tiga tahun terakhir. Lalu kami sampaikan ke Satker BWS Papua untuk mengutamakan memberikan pekerjaan ke pengusaha OAP yang belum pernah terima,” ujar Nimbrot didampingi Neilzen Wambrauw, PPK OP SDA II saat memberikan keterangan pers di kantr BWS Papua, Kota Jayapura, Senin (17/07).
Kebijiakan lainnya, kata Nimbrot, yakni memberikan paket pekerjaan penunjukan langsung kepada pengusaha OAP berdasarkan wilayah.
"Dengan kebijakan ini diharapkan tidak ada kecemburan di antara sesama pengusaha OAP," terangnya.
Nimbrot menjelaskan, saat ini belum ada regulasi yang mengatur secara rinci terkait kebijakan itu.
"Di regulasi hanya bilang pemberdayaan pengusaha Papua. Ini yang kadang timbul kecemburuaan, karena pengusaha Jayapura kerja proyek di Serui atau pengusaha Wamena kerja di Merauke. Makanya kami upayakan pekerjaan berdasarkan domisili perusahaan itu,” terangnya lagi.
Kebijakan Sesuai Domisili Perusahaan
Selain itu, lanjutnya, ada juga kebijakan misalnya untuk pemeliharaan Bendung Tami di Kota Jayapura. Meskipun pengusaha di Kota Jayapura banyak, tapi pihaknya mengupayakan agar perusahaan dari pemilik ulayat di Kampung Skow yang mendapat pekerjaan.
“Kita tidak bisa tolak mereka. Kita menghormati hak ulayat setempat. Jadi ini beberapa kebijakan yang kami ambil yang sebenarnya tidak ada dalam aturan. Semoga kedepan ada regulasi yang lebih baik yang mengatur untuk menjamin kepastian pengusaha OAP kebagian semua,” bebernya.
Sementara itu terkait munculnya persoalan pengusaha OAP tidak terbagi rata, mendapat proyek penunjukan langsung di bawah Rp1 miliar itu, menurut Nimbrot, itu dikarenakan data pengadaan barang dan jasa baik itu di Pemda maupun Kementerian dan Lembaga di Papua belum terekspose.
“Kan ada pengadaan langsung yang sifatnya bukan pekerjaan konstruksi saja, tapi berupa pengadaan barang dan saya rasa hampir di semua pemda atau kementerian dan lembaga di Papua pasti ada, tapi mungkin tidak terekspose sehingga tidak terbagi secara merata,” tuturnya.
Nimbrot berharap, ada regulasi yang bisa mengatur agar pengusaha OAP yang sudah mendapat pekerjaan di kantor A tidak lagi mendapat pekerjaan di kantor B.
"Idealnya, harusnya ada aturan berlaku seperti itu. Regulasi ini yang kita inginkan, tapi karena belum ada jadi kita buat kebijakan sendiri dalam memberdayakan pengusaha OAP,” tegasnya.**