Eksotisme Budaya Lokal Sentani

Pengrajin kulit kayu di Kampung Asei Besar saat menggelar karyanya untuk dijual (ANTARA/Agustina Estevani Janggo)

JAYAPURA,wartaplus.com - Sentani adalah Ibu Kota Kabupaten Jayapura di Provinsi Papua. Sentani juga merupakan nama suku yang mendiami wilayah ini, suku Sentani yang terpusat di tiga wilayah setempat.

Pertama, kelompok barat yang terkonsentrasi di Pulau Yonokom. Di pulau ini terdapat beberapa kampung seperti Doyo, Sosiri, Yakonde, dan Dondai.

Di daratan sebelah barat pulau ini berdiam suku Moy di kampung-kampung seperti Sabron Yaru, Dosai, Waibon dan Maribu. Mereka memiliki dialek  sendiri-sendiri.

Kedua, kelompok timur yang terkonsentrasi di Pulau Asei. Kelompok ini tersebar dalam empat kampung yaitu Ayapo, Asei Kecil, Waena, dan Yoka.

“Kemudian yang ketiga, yakni kelompok tengah yang terkonsentrasi di Pulau Ifar, Kampung-kampung mereka adalah Kabetrow, Ifar Besar, Ifar Kecil, Yoboi,” kata Ondoafi Asey Besar, Marthen Ohee.

Jumlah populasinya sekitar 30.000 jiwa. Dalam satu kampung dipimpin oleh satu Ondoafi sebagai pemimpin adat tertinggi dan dilengkapi perangkat yang disebut Kose sebagai pemimpin suku.

Artinya bahwa dalam satu kampung bisa dihuni minimal enam suku. Jjadi,  kalau ada 24 kampung maka ada 144 suku di wilayah Sentani.

Suku Sentani menggunakan bahasa yang termasuk rumpun bahasa Trans-Nugini,  bukanlah Austronesia. Akan tetapi beberapa budaya Sentani adalah budaya Austronesia.

Budaya Sentani merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Khazanah budaya ini wajib dilestarikan dan dilindungi. Hal ini seperti diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 32 yang menyebutkan bahwa memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

“Ini yang menarik, karena saat ini yang menjadi alasan utama wisatawan datang ke Indonesia adalah ingin melihat budaya lokal kita,” Kata Direktur Pemasaran Pariwisata Nusantara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Dwi Marhen Yono.

Saat zaman semakin canggih dengan teknologinya tetapi sektor pariwisata selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia, yakni karena kaya budaya lokal.


Budaya lokal Sentani

Budaya lokal mengandung nilai sosial yang dipahami dari realitas masyarakat dalam suatu wilayah. Budaya lokal memiliki lingkungan sosial dan masyarakatnya membentuk pergaulan hidup bersama, mereka saling membantu dalam kebaikan dan mengingatkan.

Suku Sentani memiliki keragaman budaya lokal mulai dari seni, bahasa, rumah adat, pakaian adat serta kuliner khas yang dimiliki.

Ini merupakan paket lengkap perjalanan wisata yang dapat mengundang wisatawan untuk berkunjung ke Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua.

Kampung Asei Besar Distrik Sentani Timur misalnya, memiliki budaya lokal yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia. Masyarakat di wilayah ini memiliki budaya yang unik yakni melukis di atas kulit kayu.

Melukis di atas kulit kayu adalah kerajinan asli khas Asei yang sudah menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Lukisan kulit kayu ini aslinya menggambarkan kisah kehidupan dan keseharian masyarakat Asei.

“Melukis di atas kulit kayu adalah warisan budaya nenek moyang bagi kami masyarakat Ohey yang mendiami Pulai Asei ini. Semua masyarakat di sini mahir melukis di atas kulit kayu,” kata pelukis kulit kayu, Theresia Ohee.

Dia menjelaskan, sejak kecil pihaknya selalu melihat dan ikut membantu orang tua saat melukis di atas kulit kayu. Proses membuat kulit kayu juga cukup panjang.

“Kulit kayu yang kami gunakan untuk melukis itu Khombouw dalam bahasa Sentani. Kayu dengan kualitas baik yang dapat dijadikan media untuk melukis,” ujarnya.

Kerajinan kulit kayu ini sudah dikenal di tingkat nasional hingga dunia, meskipun promosi yang dilakukan masih manual tetapi dapat menembus sampai ke luar negeri.

Selain sebagai hiasan dinding, kulit kayu sudah dimodifikasi menjadi lebih bervariasi lagi seperti menjadi tas, dompet, topi serta aksesoris-aksesoris yang cantik.

Kampung Asei juga memiliki budaya lokal lainnya yakni menari di atas perahu atau yang disebut Isosolo. Seni tari di atas perahu ini adalah tradisi masyarakat Papua, khususnya suku Sentani.

Isosolo terdiri dari dua kata yaitu Iso dan Solo atau Holo. Iso artinya bersukacita dan menari mengungkapkan isi hati, sedangkan Holo atau Solo berarti kelompok atau kawanan dari semua kelompok umur baik anak-anak, ibu-ibu atau orang dewasa laki-laki yang menari.

“Jadi Isosolo berarti kelompok orang yang menari dengan sukacita mengungkapkan perasaan dan isi hatinya,” kata Direktur Sekolah Adat Negeri Papua, Orgenes Monim.

Tarian ini biasanya diikuti oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan dengan jumlah 30 hingga 50 orang. Untuk menampung peserta dalam tarian ini  mereka akan menggunakan beberapa perahu besar khas orang Sentani (Khai).

Beberapa perahu akan dirapatkan kemudian di atasnya akan diletakkan papan atau kayu nibung yang ukurannya disesuaikan dengan badan perahu dan kapasitas peserta tarian.

Setelah itu, perahu akan dihiasi dengan daun kelapa ataupun daun (khamea) yang biasa digunakan dalam tarian adat yang lebih dikenal dengan istilah “furing”.

Penari Isosolo dilengkapi dengan pakai adat masing-masing seperti rok atau rumbai-rumabai (Yonggoli), manik-manik (Mori-mori), noken (Holbhoi) dan tifa (wakhu), cawat (malo/ambela) dan beberapa properti seperti busur panah.

Tarian Isosolo di Sentani biasa dilakukan oleh Ondofolo (kepala adat) beserta masyarakat kampung untuk mempersembahkan suatu hadiah kepada Ondofolo lainnya.

Barang yang dipersembahkan adalah barang yang dianggap berharga seperti babi hutan besar, hasil kebun. Hal ini biasa dilakukan ketika mengantarkan anak gadis Ondofolo untuk dinikahkan dan beberapa seserahan adat lainnya.

Isosolo memiliki nilai sosial yang sangat tinggi terhadap kerukunan antarmasyarakat. Tarian ini menanamkan rasa saling menghargai, menghormati, membutuhkan satu sama lain, dan juga menjaga hubungan baik di lingkungan masyarakat sekitar Danau Sentani.

Sementara itu, budaya lokal Sentani lainnya yang masih tetap dipertahankan dan menjadi nilai jual sektor pariwisata di Kabupaten Jayapura yakni kuliner khas dari sagu. Dari sagu bisa menghasilkan papeda dan ulat sagu juga jamur sagu. Jadi, dari satu jenis tanaman saja sudah menghasilkan satu paket lengkap menu khas Sentani.


Promosi digital pariwisata

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI mendorong agar desa wisata di Kabupaten Jayapura, Papua, memperkuat promosi pariwisatanya melalui platform digital.

“Kampung Yoboi pada 2021 masuk 50 desa wisata terbaik di Apresiasi Desa Wisata Se-Indonesia untuk itu perlu didorong atau diberi penguatan dalam bentuk promosi digital,” kata Direktur Pemasaran Pariwisata Nusantara Kemenparekraf RI, Dwi Marhen Yono.

Kampung Yoboi ini akan dinaik kelaskan dalam bentuk promosi yang sebelumnya manual akan dibuat dalam bentuk digital agar lebih dikenal dan lebih luas jangkauannya.

Promosi dalam sebuah usaha wisata sangat penting. Di era teknologi harus melakukan pembaharuan metode promosi ke masyarakat luas. Sesuai instruksi Menparekraf RI bahwa paket wisata Yoboi, akan dijual dengan platform digital pada tingkat nasional.

Selain menjadi kampung wisata, Yoboi dapat didorong untuk menjadi kampung ikan, sehingga pihak instansi terkait dapat mengambil peran pada bagian ini.

“Dinas Perikanan Kabupaten Jayapura dan tingkat provinsi dapat memberi bantuan berupa ikan dan jaring agar masyarakat di Yoboi ini semakin diberdayakan baik dari sisi wisata maupun perikanannya,” ujar Dwi Marhen Yono.

Kabupaten Jayapura, Papua, memiliki kekayaan alam serta potensi wisata yang eksotis. Potensi pariwisata yang dimiliki Kabupaten Jayapura ini perlu dikelola secara konsisten agar menjadi daerah wisata unggulan di Tanah Papua.