JAYAPURA, wartaplus.com - Keluarga besar Lukas Enembe bersikukuh agar pemeriksaan terhadap Gubernur Papua dua periode tersebut, tetap dilakukan di kediaman pribadinya di kawasan Koya, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.
Penegasan ini disampaikan pihak keluarga karena berbagai pertimbangan. Salah satunya, kondisi Lukas Enembe yang belum sepenuhnya pulih akibat sakit komplikasi penyakit yang dialaminya.
Lukas Enembe sudah satu kali mangkir dari pemeriksaan KPK usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi sebesar Rp1 Miliar.
Perwakilan keluarga, Koronal Kogoya secara tegas menyatakan bahwa pihak keluarga besar telah sepakat agar Lukas Enembe tetap akan berada di kediaman pribadinya, dan tidak akan keluar kemanapun termasuk untuk berobat ke Jakarta seperti yang ditawarkan oleh KPK.
"Kami sudah lihat banyak pemimpin Papua yang berobat ke Jakarta, dan akhirnya pulang tinggal mayat. Dan itu tidak akan kami biarkan terjadi pada pemimpin kami bapak Lukas Enembe," tegas Koronal dihadapan wartawan dan ratusan massa yang berkumpul di halaman luar kediaman pribadi Lukas Enembe, Jumat (30/09) siang. Tampak mendampingi kuasa hukum, Stephanus Roy Rening dan Aloysius Renwarin.
Mewakili keluarga ia juga menyampaikan kekecewaan terhadap pemerintah RI terkhusus kepada KPK yang menurutnya telah melakukan upaya diskriminasi dengan menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka.
"Selama lebih dari 20 tahun pengabdian Lukas Enembe untuk bangsa dan negara Republik Indonesia, mestinya harus diberi penghargaan terbaik. Oleh karena itu kami sangat kecewa," keluhnya.
Tokoh Masyarakat Pegunungan Papua, Elvis Tabuni
Sementara itu Kepala Suku Pegunungan, Elvis Tabuni menilai jika Lukas Enembe tidak korupsi, sebab sudah 8 kali mendapat penghargaan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas pengelolaan keuangan oleh BPK selama hampir dua periode memimpin Provinsi Papua.
"Kenapa sekarang kalian sebut dia (Lukas Enembe) korupsi. Kalau korupsi kenapa diberikan penghargaan?" herannya.
Elvis Tabuni yang juga anggota DPR Papua ini menyarankan kepada KPK agar mempertimbangkan rencana penjemputan paksa Gubernur Lukas. Pasalnya, ia mengkhawatirkan jika hal itu dilakukan, maka akan terjadi kekacauan di tanah Papua, dimana rakyat yang tidak tahu perosalan akan menjadi korban.
"Silahkan datang baik-baik ke kediaman, maka kami akan terima. Tidak dengan cara paksa," pintanya.
Sementara itu dari pantauan wartaplus.com, tampak ratusan masyarakat masih melakukan penjagaan ketat di kediaman pribadi Gubernur Papua. Sejumlah wartawan yang akan mengikuti jumpa pers dengan pihak keluarga dengan difasilitasi oleh tim kuasa hukum, harus melewati dua kali pemeriksaan.
Sekitar 50 meter dari pagar masuk, sebuah eskavator diletakan di tengah jalan untuk menutup akses ke lokasi tersebut.
Ratusan massa tiba-tiba muncul dengan memegang senjata tajam, mulai dari panah hingga parang sekitar kediaman dan melakukan tarian penyambutan.
Awak media tidak diperkenankan mendokumentasikan situasi hingga saat jumpa pers dilakukan di depan pagar Kediaman Lukas Enembe.
Hanya kuasa hukum dan beberapa orang lainnya yang diperbolehkan masuk ke dalam pagar Kediaman Lukas Enembe.
Perwakilan Masyarakat Koronal Kilenial Kogoya menyatakan massa masih akan terus berjaga di depan kediaman Lukas Enembe hingga masalah hukum yang dialami Gubernur Papua selesai.
"Kami masih akan di sini, kalau mau periksa KPK datang ke sini," cetusnya.
Sebagai informasi, Lukas Enembe sejak 5 September 2022 telah ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi senilai Rp 1 miliar.
Selain dicekal keluar negeri, beberapa rekening sebesar Rp 71 miliar yang diduga terkait dengan Lukas Enembe telah diblokir oleh PPATK.
KPK telah memanggil Lukas Enembe sebagai tersangka pada 12 September lalu namun ia tidak hadir karena sakit.
Kemudian KPK telah mengirim surat panggilan kedua kepada Lukas Enembe agar yang bersangkutan hadir untuk diperiksa di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada 25 September 2022 dan ia kembali tidak hadir karena alasan kesehatan.**