Ancaman  Athoritarian Dibalik Penunjukan Penjabat Kepala Daerah

Foto ilustrasi

JAKARTA,wartaplus.com - Kembalikan hak politik warga dan cegah ancaman athoritarian dibalik ketentuan penunjukan Penjabat Kepala Daerah. Ketentuan penunjukan atau pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dalam mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang akan berakhir pada tahun 20222 dan 2023, sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada), telah memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Pemerintah, khususnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri.  Ini terungkap dalam rilis yang diterima wartaplus.com, Rabu (20/4/2021) dari Kantor Hukum dan HAM Lokataru yaitu Nurkholis Hidayat, SH,LLM , DR. Pieter Ell, SH, MH serta Guntoro, SH

Terungkap dalam rilis, secara faktual, ketentuan pengangkatan dan penunjukan telah berdampak pada hilangnya ruang kompetisi politik yang sehat dan fair, hilangnya hak masyarakat untuk memilih, dipilih, dan berpartisipasi dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Untuk warga Papua dan Papua Barat, ketentuan ini telah mengabaikan UU Otonomi Khusus, UU Pemerintahan Daerah dan mengabaikan kekhususan tanah Papua dimana pilar-pilar ketatanegaraan dibentuk dan dirancang untuk memberikan pengakuan yang besar terhadap peran Majelis Rakyat Papua, DPRPapua, Dewan Adat, yang  merupakan respresentasi Orang Asli Papua dan masyarakat Papua. 

Selain itu, ketentuan penunjukan tersebut juga telah memberi cek kosong kepada Presiden dan Mendagri dan menimbulkan potensi besar dan risiko terciptanya pemerintahan yang authoritarian dan hilangnya fungsi-fungsi check and balance dalam pilar-pilar sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang demokratis.

Diungkapkan, permohonan judicial review UU Pilkada ini merupakan ikhtiar masyarakat yang bertujuan untuk mencegah akumulasi kekuasaan yang sangat besar di tangan Pemerintah, khususnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri.  Selain itu, juga untuk mengembalikan adanya fungsi check and balance dalam sistem kekuasaaan negara, dan memulihkan hak partisipasi dan hak politik masyarakat dalam ikut menentukan masa depan pemerintahan dan negara yang demokratis, menjunjung tinggi prinsip negara hukum (rule of law) dan hak asasi manusia.

Oleh karena itu, untuk memulihkan hak-hak konstitusional warga negara dan untuk mencegah risiko ancaman terhadap supremasi negara hukum demokratis, Mahkamah Konstitusi dituntut untuk menyatakan ketentuan penunjukan inkonstitusional karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, pemilihan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945, dan Jaminan, Persamaan dan Kepastian Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, serta aturan hubungan wewenang pusat dan daerah yang harus memperhatikan kekhususan dan Keragaman daerah sebagaimana dijamin Pasal 18 A UUD NRI 1945, atau setidak-tidaknya menyatakan konstitusional bersyarat yakni dengan memberikan penafsiran atas prasa “ditunjuk” dengan menekankan pada kondisi-kondisi atau persyaratan-persyaratan (conditionalities) yang sesuai dengan konsep negara hukum demokratis sebagaimana diatur dalam UUD 1945, dimana kedaulatan rakyat adalah yang utama. *