Bijak Mengelola Obat Dalam Rumah Tangga

Apt. Dyah I.R. Handono, M.Sc/Istimewa

Obat Itu Madu Atau Racun?

Semua orang tentunya pernah menggunakan obat. Obat merupakan zat yang digunakan untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta pemulihan dan peningkatan kesehatan bagi penggunanya, yang memiliki dua sisi, yaitu kemanfaatan dan efek samping (BPOM, 2015). Dalam penyelenggaraan kesehatan, obat merupakan unsur yang sangat penting. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat lepas dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi.

Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga obat harus selalu digunakan secara benar agar memberikan manfaat klinis yang optimal (Badan POM, 2017). Fungsi obat itu sangatlah banyak. Namun, dengan fungsi obat yang sangat banyak itu, bila salah dalam pengelolaannya maka obat tersebut justru dapat menjadi racun, bukan menjadi “madu”.

Obat merupakan bagian yang sangat vital, tidak bisa terpisahkan dari kehidupan makhluk hidup. Bahkan, tumbuhan pun membutuhkan obat untuk pertumbuhannya, dalam hal ini nutrisi vitamin untuk bertumbuh subur. Sehingga, bisa dikatakan bahwa manusia dengan berbagai umur dan latar belakang pendidikan, bahkan status sosial, membutuhkan pengetahuan tentang pengelolaan obat yang benar, efektif, dan efisien, dimulai dari lembaga terkecil, yaitu keluarga.

Mengapa Obat Dibutuhkan?

Saat ini, kebutuhan akan sebuah obat sudah seperti membutuhkan makanan. Semua lapisan masyarakat berobat ke sarana pelayanan kesehatan, tujuannya adalah untuk mendapatkan obat. Begitu juga dengan mereka yang melakukan swamedikasi, datang ke apotek atau toko obat berijin, tak lain dan tak bukan untuk membeli obat tanpa resep dokter. Oleh karena itu, obat merupakan bagian yang vital atau penting. Jangan pernah lupa bahwa obat dapat membawa manfaat jika digunakan dengan benar, namun obat juga dapat berbahaya bagi tubuh manusia jika digunakan secara salah.

Obat dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit, mencegah terjadinya suatu penyakit di dalam tubuh, maupun untuk membantu mendiagnosis suatu penyakit. Jika obat digunakan hanya sebagai “permen” yang dikunyah setiap waktu maka efek manfaatnya akan hilang, dan tentunya akan muncul efek samping obat maupun resistensi (kebal) terhadap obat tersebut.
“Jika Anda aktif dan makmur, atau muda, atau dalam kesehatan yang baik, mungkin lebih mudah bagi Anda untuk menambah sarana Anda daripada mengurangi keinginan Anda.

Tetapi, jika Anda bijak, Anda akan melakukan keduanya pada saat yang sama, muda atau tua, kaya atau miskin, sakit atau sehat; dan jika Anda bijak, Anda akan melakukan keduanya sedemikian rupa untuk meningkatkan kebahagiaan masyarakat secara umum.” (Benjamin Franklin)

Bijak mengelola obat, sama artinya bijak dalam memanajemen obat. Dengan mengelola obat atau memanajemen obat secara benar dan bijak, tentunya kita dapat mengelola keuangan rumah tangga. Sebab, pada umumnya, pemborosan yang sering terjadi adalah membeli obat yang tidak dibutuhkan untuk dijadikan obat stok atau persediaan, atau sering disebut obat jaga-jaga dan antisipasi jika sakit.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukkan bahwa sebanyak 103.860 rumah tangga atau 35,2% dari 249.959 rumah tangga di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi. Dari 103.860 rumah tangga yang menyimpan obat, proporsi 35,7% di antaranya menyimpan obat keras, yaitu obat yang dibeli dengan resep dokter berlogo merah dan 27,8% di antaranya menyimpan antibiotik.

Dari data tersebut, menunjukkan bahwa pengelolaan obat bukan saja menjadi bagian yang esensial, melainkan bagian yang sangat penting (vital). Mengapa demikian? Sebab, bukan hanya obat yang dibeli secara bebas yang disimpan di kotak obat darurat, tetapi ada juga obat yang digunakan untuk penyakit kronis, seperti penyakit gangguan jantung atau TBC atau pasien dengan penyakit degenerative khusus pasien lansia, seperti diabetes melitus (gula darah) dan hipertensi (tekanan darah tinggi).

Bukan itu saja yang menjadi masalah, melainkan obat-obatan yang tidak diminum dengan tuntas, masih tersisa di lemari kotak obat, bisa menjadi sumber masalah baru, yaitu penyalahgunaan obat karena kurangnya pemahaman dan tindakan yang benar.

Mengapa kita perlu mengelola obat dengan bijak? Tentunya agar terhindar dari hal-hal yang mungkin saja dapat terjadi, seperti: Penggunaan obat bebas secara berlebihan (over dosis) akan menimbulkan efek samping atau interaksi obat yang seringkali memicu masalah kesehatan baru. Membeli obat bebas secara berlebihan akan menyebabkan pemborosan keuangan.

Pengelolaan obat yang didapat melalui resep dokter harus tepat. Jika obat tidak habis atau masih sisa, segera dibuang. Khusus antibiotik, jangan disimpan untuk diminum di lain waktu jika mengalami sakit. Antibiotik seharusnya diminum sampai habis atau tuntas. Agar tidak menyebabkan resistensi (kebal) obat antibiotik

Cara Menggunakan Obat dengan Benar

Pernahkah anda mengonsumsi obat batuk sirup? Pastinya pernah, ya. Jika bukan Anda, mungkin anak Anda atau keluarga Anda. Nah, untuk obat batuk sirup, dianjurkan untuk minum sesuai aturan pakai, misalnya 3 x sehari 15 ml. Sebanyak 15 ml di sini tidak bisa diasumsikan sebagai sendok makan, melainkan sendok takar. Sebab, sendok makan ataupun sendok teh yang kita miliki di rumah tangga tidak memiliki takaran atau ukuran yang akurat. Setiap kita membeli obat, selalu ada sendok takar yang diberikan. Maka, gunakanlah sendok takar tersebut untuk mengukur dosis obat sebanyak 15 ml untuk diminum. Begitu juga obat sirup yang diberikan kepada anak-anak, wajib diberikan sesuai takaran atau ukurannya. Hal ini dilakukan agar obat dapat memberikan manfaat untuk menyembuhkan, tidak berlebihan ataupun kekurangan dosis.

Semua obat memiliki efek manfaat bagi kondisi yang membutuhkan obat, apabila digunakan dengan benar dan tepat. Namun, obat juga bisa menjadi bahan/zat yang membahayakan tubuh (racun) jika digunakan dengan tidak tepat. 

Beberapa obat ada informasi khusus yang perlu diketahui, maka jangan pernah malu untuk bertanya tentang manfaat yang akan kita dapat dari kepatuhan mengikuti terapi pengobatan. Sebab, jika kita tidak mau belajar maka kita sendiri yang akan rugi, seperti kata pepatah kuno yang menyebutkan “malu bertanya sesat di jalan”.

Kesalahan dalam Penggunaan Obat

Ingatkah kita tentang judul lagu “Alamat Palsu” yang dinyanyikan seorang artis dangdut terkenal, yaitu Ayu Ting Ting?

Ke sana kemari membawa alamat
Namun yang kutemui bukan dirinya Sayang, yang kuterima alamat palsu

Dari penggalan lirik lagu tersebut, dapat dibayangkan ketika kita ke alamat yang salah. Dari lirik lagu ini, kita bisa melihat sebuah analogi; jika kita sakit maka tempat yang harus dituju adalah sarana pelayanan kesehatan yang resmi, berobat ke klinik, puskesmas, dan rumah sakit pemerintah ataupun swasta. Sedangkan, untuk mendapatkan obat (swamedikasi), kita harus ke apotek atau toko obat berijin yang resmi.

Penelitian oleh Zulkarni, dkk. menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang obat sangat ditentukan pula oleh informasi yang didapatkan sebelum melakukan swamedikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 58% responden (orang yang diteliti) mendapatkan informasi dari keluarga/tetangga/sahabat, bukan dari tenaga kefarmasian atau kesehatan. Sehingga, pemerintah dalam hal ini Kemenkes maupun BPOM, selalu melakukan kegiatan sosialisasi ataupun penyuluhan dan membuat slogan informasi yang bersifat edukatif, mudah dimengerti, dan berkesinambungan kepada semua lapisan masyarakat, bahkan mengaderkan ibu-ibu rumah tangga sebagai Agent of Change (AoC). AoC merupakan agen pembawa perubahan yang baik bagi lembaga terkecil keluarga dan masyarakat luas.

Setiap pasien atau konsumen memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang obat bebas atau bebas terbatas, yang dapat diperoleh dari berbagai sumber terpercaya. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), masyarakat khususnya pasien sebagai konsumen.

Cara Menyimpan Obat Dengan Benar

Penyimpanan obat sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat pada umumnya, terkhusus pada lembaga terkecil di rumah tangga. Mengapa demikian? Sebab, semua obat atau bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya yang bisa menyebabkan kontaminasi (BPOM, 2018).

Apoteker melalui Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) mencetuskan istilah komunikatif yakni “DAGUSIBU” yang artinya Dapatkan, Gunakan, Simpan, dan Buanglah Obat dengan Benar, untuk memudahkan masyarakat dalam memahami berbagai informasi dari suatu obat. DAGUSIBU sampai saat ini terus dibagikan dengan cara penyuluhan secara langsung maupun media poster, leaflet, dan motion graphic. Berikut ini hal-hal yang menjadi perhatian dalam penyimpanan obat:

Jauhkan obat dari jangkauan anak, Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat. Label jangan dilepas karena berisi aturan pemakaian. Simpan obat di tempat yang sejuk, kering, dan terhindar dari sinar matahari langsung atau sesuai petunjuk yang tertera dalam kemasan.

Jangan tinggalkan obat di mobil dalam jangka waktu panjang karena suhu tidak stabil. Jangan simpan obat yang telah kedaluwarsa. Obat dalam bentuk cair jangan disimpan di dalam lemari pendingin (freezer) agar tidak membeku, kecuali disebutkan pada etiket atau kemasan. Sediaan suppositoria harus disimpan di lemari es supaya tidak meleleh, Sediaan aerosol (spray) harus dijauhkan dari panas/suhu tinggi karena dapat meledak..Bila ragu/tidak mengerti, tanyakan kepada Apoteker atau tenaga kesehatan terdekat.  (Sumber: Buku Saku GeMa CerMat, 2018)

Penutup

Siapa diantara kita yang mau sakit? Tentu saja tidak ada. Tetapi, jika memang kita mengalami sakit, baik itu karena kelalaian diri sendiri, ataupun mungkin secara tidak disengaja, maka haruslah kita ingat untuk menggunakan obat dengan bijak yang akan membawa manfaat kesembuhan (madu). Menggunakan obat secara tidak rasional dan tidak bijak, tentunya akan membawa dampak merugikan (racun) bagi sang pengguna obat.

Selain obat yang dapat digunakan sebagai sarana kesembuhan terhadap penyakit, perlu kita ingat bahwa terapi pendukung obat adalah hati yang gembira. Di mana pun Anda dan saya berada, mari kita memiliki gaya hidup yang sehat, seperti yang disampaikan oleh seorang penulis buku yaitu Hiromi Shinya dalam bukunya yang berjudul terapi enzim, menyatakan bahwa “penyakit gaya hidup sebenarnya merupakan penyakit kelalaian manajemen diri dan menghindari stres berlebihan setara pentingnya dengan menjaga pola makan yang benar”. Sekalipun kita mengalami suatu penyakit, jangan pernah lupa untuk selalu bergembira. Sebab, dengan bergembira, imunitas tubuh akan meningkat dan mendukung proses terapi pengobatan yang sedang dijalani.


Penulis: Apt. Dyah I.R. Handono, M.Sc