Partisipasi Perempuan di Mining Sector

Meyleta Ismunarti Tike Wayeni/Istimewa

Di berbagai negara, jumlah pekerja perempuan di sektor pertambangan jauh berbanding sedikit dari pada jumlah pekerja laki-laki. Stigma tentang keterbatasan yang dialami perempuan ketika hadir dalam sektor-sektor pertambangan menciptakan pandangan bahwa perempuan adalah pihak yang sangat rentan teropresi.

Sektor pertambangan dengan segala risiko dan konsekuensi menjadi alasan tunggal yang merugikan perempuan dalam bentuk diskriminasi terhadap akses pekerjaan. Kaum perempuan cenderung mendapatkan tekanan oleh perusahaan dalam bentuk pembatasan terhadap akses sumber daya alam dan menghilangkan kesempatan kerja bagi mereka. Dalam persoalan ini, negara juga turut andil dalam melakukan diskriminasi dengan menerbitkan berbagai kebijakan yang sarat kepentingan korporasi dan yang sarat akan bias gender.

Pada kenyataannya diera globalisasi sekarang ini perempuan tengah menjadi sorotan. Di era emansipasi dimana masyarakat mulai mengakui keberadaan perempuan yang makin maju serta mulai menunjukkan kapasitas diri mereka. Keadaannya tentu berbeda ketika masyarakat belum mengenal emansipasi.

Perempuan tidak bebas untuk berekspresi dan bersosialisasi dengan leluasa. Perempuan di zaman sekarang sudah berani mengekspresikan diri dan mandiri tanpa merasa terkekang oleh adat, stigma dan mitos dalam masyarakat. Pada akhirnya mereka mulai mengepakkan sayap dalam karier untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan diri demi masa depan.

Lambat laun masyarakat khususnya kaum laki-laki sudah mulai merasakan pergolakan emansipasi perempuan yang begitu kuat untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki. Untuk menunjukkan kemampuan diri, perempuan lebih berani dan bebas memilih pekerjaan sesuai dengan minat mereka atau kemampuan mereka.

Bekerja di bidang pertambangan adalah tantangan yang berat, namun seiring waktu berjalan, transformasi kesetaraan gender dalam masyarakat memberi akses kepada kaum perempuan untuk ikut terlibat aktif dalam sektor pertambangan.

Pertambangan merupakan dunia kerja yang identik dengan maskulinitas, dan secara substansi, pekerjaan tersebut lebih ideal untuk laki-laki. Tidak hanya dihubungkan dengan gender, pekerja tambang diasosiasikan sebagai bentuk pekerjaan dengan resiko tinggi, selalu kotor, dan membahayakan dan umumnya lebih sepadan dengan karakter maskulin.

Gagasan tersebut merupakan suatu gambaran bahwa dunia pertambangan cukup keras karena memang area tambang merupakan area kerja terbuka dengan hamparan tanah dan batu yang gersang. Berlumpur dan becek saat hujan dan berdebu saat terkena teriknya matahari menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan tambang.

Proses penambangan sendiri mempunyai aktivitas yang sangat berisiko, contohnya seperti pada proses peledakan dan penghancuran. Selain itu, sarana dan prasarana yang tersedia secara teknis tidak cocok bagi perempuan karena tidak dapat mengakomodasi karakteristik fisik perempuan.

Meski dikatakan sebagai dunia kerja yang berisiko bagi kaum perempuan bukan berarti tidak ada perempuan yang mampu dan mau memasuki dunia kerja pertambangan. Sebaliknya di sejumlah tambang, perempuan mampu bekerja sebagai operator armada tambang dengan prestasi kerja yang begitu baik. Salah satunya di tambang batu bara kelas dunia yang berlokasi di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Disana ada ratusan perempuan yang sudah menekuni pekerjaan tersebut selama puluhan tahun, salah satunya, Umandia, perempuan yang sudah 27 tahun menekuni profesi operator tambang di sebuah perusahaan tambang batu bata di Sangatta, Kutai Timur. (Zulfatun Mahmudah 2018:7)

Berdasarkan hasil survei pekerja perempuan memiliki kinerja dengan standar operasional yang sama dengan pekerja laki-laki, dari mulai jam kerja yang harus dijalaninya. Misalnya, shift malam, operator perempuan juga akan terjaga untuk mengoperasikan armada tambang.

Banyaknya perempuan yang berprofesi sebagai operator armada tambang tidak serta merta mengubah pandangan publik. Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang muncul di dunia kerja tidak terlepas dari munculnya terminologi gender yang didasarkan pada dominasi patriarki. Laki-laki dan perempuan dipisahkan secara sosial karena salah satu mendominasi yang lain. Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Emansipasi perempuan dalam dunia kerja, saat ini nyatanya telah memberikan kontribusi yang cukup besar. Terlihat dari banyaknya perempuan yang ikut berperan aktif dalam memajukan beberapa sektor industri di tanah air Indonesia. Jika dulu perempuan kurang mendapat apresiasi, kini perempuan memiliki peranan yang cukup penting dalam dunia kerja, bahkan beberapa diantaranya justru memiliki karir di posisi yang sangat strategis dalam suatu badan usaha atau perusahaan.

Emansipasi perempuan sudah bukan sebuah wacana lagi. Di Indonesia, persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan sudah dianggap berjalan ideal. Begitu juga tak ada lagi perlakuan istimewa dalam hal tugas, kewajiban, penghargaan dan hukuman. Emansipasi yang berdasarkan kemampuan, bukan hanya kemauan semata.*

Oleh:  Meyleta Ismunarti Tike Wayeni