Sing Apik Dinggo, Sing Elek Diuncal

Indonesia Sentris Ala Jokowi

Ambassador Freddy Numberi/Istimewa

Oleh : Ambassador Freddy Numberi, Founder Numberi Center

Presiden RI ke-3, Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie mengatakan: “Dimanapun di dunia ini tidak selalu ide dan filosofi yang penting, tetapi orang yang ada dibelakang ide itu yang menentukan”. (The Power of IDEAS (Jakarta, 2018:h.76)

Itulah Presiden RI ke-7 Ir. H. Joko Widodo, sosok yang memiliki Visi Indonesia-Sentris dan Pemimpin kharismatik yang Melayani serta “pendobrak yang militant” dalam mengubah birokrasi Indonesia yang bertele-tele menjadi birokrasi pemerintah yang efektif, efisien, baik dan bersih (good and clean governance).

“Sing apik dinggo, sing elek diuncal” (Yang baik dirangkul, yang jelek dibuang) Presiden Jokowi sangat memahami apa yang terjadi di Papua selama kurun waktu 58 tahun sejak 1 Mei 1963 hingga 1 Mei 2021.

John Saltford, menyatakan: “Therefore under uti possidetis juris it belonged to Indonesia. If the Dutch granted WNG its independence it would be an act of separatism against Indonesia.” (THE UNITED NATIONS AND THE INDONESIA TAKE OVER WEST PAPUA, 1962-1969, The anatomy of betrayal, London, 2003:h.8)

Presiden Jokowi juga sangat paham bagaimana ingatan kolektif masa lalu yang melukai banyak rakyat Papua dan menjadi suatu “Memoria Passionis (Ingatan Penderitaan)”, setelah Jokowi berkunjung lebih dari lima belas kali ke Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) serta meresmikan banyak proyek infrastruktur di Tanah Papua.

“Memang pemberontakan dapat ditumpas dan luka-luka akibat perang yang serba keliru itu dapat sembuh, namun bekas luka-luka tidak akan pernah hilang, diceritakan dari orang tua ke anak, dari anak ke cucu, dari cucu ke cicit, turun temurun.” (Daoed Joesoef, Studi Strategi-Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2014:h.135)

Analog pernyataan Daoed Joesoef diatas menurut hemat penulis, juga terjadi di Papua dan hal ini membuat resah masyarakat Papua disertai hilangnya kepercayaan kepada pemerintah baik daerah maupun pusat.

Yang menjadi perbincangan dikalangan elit Papua dan Generasi Milenial Papua, bahwa ternyata sosok Presiden Jokowi bukan Jawa-Sentris, tetapi justru menggambarkan Visi beliau yang Indonesia-Sentris dalam mewujudkan target dan sasaran pembangunan pada periode pertama (2014 - 2019) dibawah kepemimpinan beliau sebagai Presiden Indonesia. Hal ini juga sebagai bukti bahwa di era Orde Reformasi dan Demokratisasi dewasa ini, justru hal-hal yang baik dirangkul dan yang jelek dibuang semasa Orde Lama maupun Orde Baru.

Visi Indonesia-Sentris yang menjadi komitmen dan ide desain besar Presiden Ir. H. Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin harus didukung oleh masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi Orang Asli Papua (OAP).

Berbagai masalah yang menerpa masyarakat Papua, seolah telah melahirkan suatu keadaan “paradoksial” di Tanah Papua yang dapat di jelaskan sebagai berikut:

  1. Papua kaya tapi miskin (kaya akan sumber daya alam, tapi miskin penghasilan);
  2. Papua besar tapi kerdil (wilayah Tanah Papua amat besar, tapi penduduknya kerdil dalam produktivitas dan daya saing);
  3. Papua bebas tapi terjajah (bebas dalam hal politik setelah reformasi, tapi terjajah secara ekonomi);
  4. Papua kuat tapi lemah (kuat dalam tindakan “anarkisme”, tapi lemah dalam menghadapi tantangan globalisasi);
  5. Papua itu indah tapi jelek (indah dalam alam maupun potensinya, namun jelek karena korup dalam pengelolaannya).

(dimodifikasi dari: Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie, The Power of IDEAS, Jakarta, 2018:h.173)

Sejalan dengan Paradigma Baru Presiden Jokowi (2020-2024) sesuai Inpres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat, disamping adanya Keppres No. 20 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Pendekatan yang dipilih Presiden Jokowi adalah:

  • Pendekatan Antropologis;
  • Pendekatan Kesejahteraan;
  • Pendekatan Evaluatif (secara ketat mengawasi jalannya pembangunan di Papua).

Pendekatan keamanan diubah menjadi pendekatan kesejahteraan dan mengedepankan POLRI sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Sedangkan TNI dalam masa damai dewasa ini, sebagai “back up” dan membantu POLRI sewaktu-waktu bila dibutuhkan dalam hal konflik internal didalam negara sendiri (intra-state) melawan “Dissident Terrorist Armed Forces ( Pasukan Teroris Pembangkang Bersenjata)” sesuai UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dari aspek hukum Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa peristiwa Wamena berdarah (6 Oktober 2000) korban 47 orang, Wasior berdarah (13 Juni 2001) korban 117 orang dan Paniai berdarah (8 Desember 2014) korban 18 orang agar diproses lebih lanjut karena masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Militansi dan keberanian untuk membuat “timeline” dalam menentukan masalah pelanggaran HAM justru terjadi saat Presiden Jokowi menjadi pimpinan nomor satu di Indonesia. Dengan demikian ada kepastian hukum dalam hal pelanggaran HAM di Papua dan saat ini masyarakat Papua sedang menunggu proses selanjutnya dari pada ketiga pelanggaran HAM tersebut diatas.

Di sisi lain masalah dana Otonomi Khusus yang dikucurkan untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sejak tahun 2006 - 2020 cukup besar, namun belum dapat dinikmati oleh Orang Asli Papua (OAP) terutama masyarakat di akar rumput. Tentunya timbul pertanyaan kemana dana Otsus yang besar itu?

Dalam penjelasan Wamenkeu Suahasil Nazara di DPD RI, bahwa terdapat indikasi penyalahgunaan dana Otsus oleh Pemerintah Daerah, di antaranya pengeluaran Rp 556 miliar yang tidak didukung data yang valid serta pengeluaran Rp 29 miliar untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai aturan. Selain itu ada juga dana Otsus yang didepositokan sebesar Rp 1,85 triliun. Akumulasi dana Otsus untuk Provinsi Papua sejak tahun 2006-2020 sebesar Rp 93,05 triliun dan Provinsi Papua Barat sejak tahun 2009-2020 sebesar Rp 33,94 triliun.

Bagi masyarakat awam pertanyaannya adalah mengapa hasil temuan BPK tersebut tidak ditindaklanjuti dan ada apa sebenarnya?

Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin melalui Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Polri untuk menindak dengan tegas oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangan tersebut baik di Pusat maupun di Daerah (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Sejalan dengan Nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi pada tahun 2015-2019, dimana butir ke-2 menyatakan bahwa:

“Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.”

Harapan OAP kedepan dibawah leadership Presiden Ir. H. Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada periode 2019 – 2024 dapat mengubah “Memoria Passionis (Ingatan Penderitaan)” menjadi “Memoria Felicitas (Ingatan Kebahagiaan)”, seperti apa yang dikatakan Profesor Thoby Mutis, Rektor Universitas Trisakti:

“Arti sebagai bangsa dan warga Negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna”

(Manajemen Kemajemukan-Sebuah Keniscayaan Untuk Mengelola Kebhinekaan Manusia Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2008:h.5).*