Prahara Di Tambang Freeport

Ambassador Freddy Numberi  Founder Numberi Center/Istimewa

Oleh: Ambassador Freddy Numberi  Founder Numberi Center

Denis Leith dalam bukunya, The Politics of Power, Freeport in Soeharto’s Indonesia (University of Hawaii Press, Honolulu, 2003:h.7) mengatakan bahwa ada lima pelanggaran utama yang dilakukan Freeport McMoran di kawasan konsesi:

  1. Pelanggaran HAM, sebagai akibat penggunaan aparat keamanan yang menjaga kawasan konsesi terhadap masyarakat adat pemilik hak ulayat yang ingin mencari makan ditanahnya sendiri. Namun karena tanah ini sudah "dimiliki" Freeport, maka mereka dilarang masuk ke tanahnya sendiri dan seringkali terjadi konflik dan kekerasan terhadap mereka  yang pada akhirnya banyak yang terbunuh (Human Rights Violation).
  2. Pembunuhan kultur orang Papua, karena kawasan tersebut dimasuki banyak pendatang dari luar Papua, akhirnya kultur budaya masyarakat setempat tidak terpelihara malah punah. Banyak orang Papua yang terfragmentasi dengan alkohol dan pelacuran (Culture Genocide).
  3. Freeport beroperasi dengan standard ganda, karena ada aturan maupun ketentuan yang harus dipatuhi sesuai ketentuan AS, malah dilanggar (Operational Double Standard).
  4. Eksploitasi SDA secara ilegal, karena pembangunan kegiatan pengembangan (eksplorasi maupun eksploitasi) kegiatan ke kawasan sekitarnya terus dilakukan tanpa sepengetahuan pemertintah (Illegal Resource Exploitation).
  5. Kerusakan lingkungan yang parah akibat pembuangan limbah (tailing) pada tiga sungai yang mengalir ke Laut Arafura (Eco Genocide).

Dennis Leith (2003:h.92) juga menyatakan bahwa disamping pelang-garan-pelanggaran tersebut diatas, keberadaan Freepot McMoran di kawasan Kota Timika dan sekitarnya juga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat setempat, antara lain:

  1. Pengangguran bertambah akibat derasnya migrasi dari luar yang masuk ke Timika untuk mencari pekerjaan dan dampaknya justru terhadap masyarakat asli Papua;
  2. Penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, terlihat dari kehidupan keseharian masyarakat yang begitu mudah berbenturan;
  3. Penyakit AIDS meningkat dan tidak terkendali akibat kehidupan sosial kemasyarakatan yang tidak terkontrol dengan baik oleh pemerintah;
  4. Kecanduan minuman keras;
  5. Keresahan sosial;
  6. Kehidupan spiritual yang semakin terdegradasi; dan
  7. Kesenjangan ekonomi yang makin tajam antara pendatang dan masyarakat asli Papua.

Hal ini telah memperlihatkan bahwa sejak Freeport melakukan eksploitasi dengan menggali Gunung Erstberg dan Grasberg, maka sesungguhnya telah terjadi suatu proses ecocida, genocida, dan Deicida. Salah satu kasus ecocida terbesar di planet bumi ini, yaitu terbentuknya kawah raksasa di Tambang Grasberg yang berdiameter 4.000 meter dengan kedalaman 1.000 meter.

Sejak awal beroperasi sampai dengan saat ini telah lebih dari ratusan juta ton pasir dan batu telah dihancurkan dan menjadi bubur emas, tembaga dan perak serta bahan mineral lainnya. Manusia Papua yang disuguhi kebiasaan buruk sebagai peminum alkohol dan penderita penyakit HIV/AIDS adalah suatu bentuk dari genocida. Baik ecocida maupun genocida yang telah terjadi pada akhirnya akan bermuara pada kehidupan tanpa Tuhan sebagai pencipta atau yang disebut Deicida.

Robert Milton, seorang geolog yang bekerja untuk PT. Freeport Indonesia, mengatakan bahwa perusahaan tidak tertarik pada kebudayaan lokal (Papua).

Bangsa Indonesia sangat dilukai, terutama rakyat Papua, karena keberadaan Freeport justru menjadi semacam “kutukan” dan selalu bagai “angin ribut” bagi masyarakat adat Papua.

Sangat ironis, meskipun pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas, pemerintah masih terus membiarkan pembuangan tailing pada ketiga sungai tersebut.

Dari hasil penelitian WALHI tahun 2006 di Papua, menyatakan bahwa limbah yang dibuang Freeport sejak awal operasi sampai dengan saat ini ± 1 miliar ton. Setiap hari limbah yang dibuang 5300 ton di Sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa dalam bentuk Acid Rock Drainage (ARD). Kawasan yang rusak saat ini seluas lebih dari 90 mil persegi (167 km2).

Di prediksi bahwa apabila kontrak diperpanjang sampai dengan tahun 2040, maka limbah yang dibuang bisa mencapai 3-4 miliar ton. Untuk itu perlu perhatian yang lebih serius dari Pemerintah, apalagi saat ini Pemerintah memiliki saham 51%. Dengan demikian kewajiban memantau Freeport dalam membuang limbahnya agar sesuai dengan ketentuan dan kaidah-kaidah yang ada.

PT. Freeport Indonesia memang selalu menjadi sorotan baik nasional maupun internasional. Bangsa Indonesia jangan pernah lupa bahwa, ketika Undang-Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang drafnya dirancang di Jenewa-Swiss dan didiktekan oleh Rockefeller serta disahkan dan ditandatangani Presiden Soeharto tanggal 7 April 1967. PT. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang beroperasi di Indonesia.        

Bradley R. Simson dalam bukunya Economist with Guns (Stanford University, California, 2008 : hal. 235), mengatakan: “Two weeks later Indonesia and the United States signed an investment guarantee agreement after Jakarta accepted without change the draft offered by Washington”.

 Bila kita mau jujur sudah banyak pengorbanan masyarakat Papua akibat prahara Freeport di Tanah Papua, dengan demikian tidak ada salahnya kalau smelter dibangun di Papua sebagai upaya menjawab “DOSA-DOSA” Freeport selama ini di Tanah Papua.