Oleh: Ambassador Freddy Number Laksamana Madya TNI (purn) Founder Numberi Center
“Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kekuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” (Kitab Injil Markus 10: 42-44)
Kepemimpinan atau Leadership di tanah Papua ( Provinsi Papua dan Papua Barat) memegang peranan kunci dalam menggerakan roda pembangunan yang ada di daerah serta mendorong partisipasi masyarakat Orang Asli Papua (OAP) dibawah kepemimpinan baik para Gubernur dan para Bupati. Memiliki komitmen untuk membela kepentingan OAP dalam tata kelola pemerintahan yang berpihak pada pelayanan dasar dan kebutuhan masyarakat secara luas, khususnya OAP. Tata kelola pemerintahan harus baik dan bersih (good and clean governance).
Harus ada perhatian khusus bagi mereka yang ada di daerah terpencil, tertinggal dan terisolir karena selama 58 tahun ini kawasan-kawasan tersebut belum tersentuh pembangunan secara maksimal baik di tingkat lokal maupun nasional. Karena pola kepemimpinan yang berkembang baik lokal maupun nasional masih bersifat feodalis, yaitu masih lebih bersifat ingin dilayani daripada melayani.
Khusus di Papua juga berkembang di era reformasi ini kepemimpinan etnisitas dan tentunya sangat tidak menguntungkan bagi OAP dalam membangun diri dan lingkungannya. Pola yang dikembangkan lebih mengarah kepada penimbunan sumber daya pembangunan (baca korupsi) dibandingkan mendistribusikan secara adil bagi masyarakat kecil OAP dan memberdayakan mereka dari dana Otonomi Khusus sesuai UU OTSUS 21, Thn 2001.
Dalam era Otonomi Khusus Jilid II atau UU Otsus no 2 Tahun 2021, dibutuhkan spirit dan pola Leadership (Kepemimpinan) sebagai antitesa dari kepemimpinan feodalis maupun etnisitas yakni Pemimpin yang Melayani (Servant Leader) dalam era transformasi dan reformasi dewasa ini.
Robert K. Greenleaf dalam kredonya mengatakan: “Dalam beragam manisfestasi dan kepedulian yang diperlihatkan seorang pemimpin untuk memastikan bahwa prioritas tertingginya adalah bagaimana melayani dan memenuhi kebutuhan orang yang dipimpinnya.”
Senada dengan Robert K. Greenleaf, penulis Stephen Covey berkomentar bahwa: “Hal yang dalam, dari rasa kemanusiaan yang perlu ditekankan kepada setiap orang adalah untuk memunculkan kemampuan dirinya untuk keluar dari kungkungan kodrati manusia”.
(Freddy Numberi, Kepemimpinan Sepanjang Zaman, Jakarta, 2010:h. 192-193). Menurut hemat penulis para pemimpin baik di pusat maupun daerah harus benar-benar keluar dari belenggu/kungkungan kodrati manusia berupa penyakit “AIDSS” ( Angkuh, Iri, Dendam, Serakah dan SARA).
Hanya dengan mengembangkan kultur atau budaya Servant Leader (Pemimpin yang Melayani) realitas kemiskinan, distribusi pembangunan yang tidak merata, minimnya akses OAP atas pelayanan public, maka pemerintah dapat menjembatani dan ditanggulangi secara proposional, terutama didaerah terpencil, tertinggal dan terisolir.
Pemerintah pusat maupun daerah harus mengikut sertakan para elit informal didalam masyarakat Papua, karena para elit informal ( pemimpin agama, pemimpin adat, kepala suku, dll) memiliki fungsi yang strategis.
Para elit informal ini tidak memiliki kekuasaan langsung dalam birokrasi pemerintahan, namun peran dan pengaruhnya di tingkat pemerintahan di daerah sangat terasa dan cukup besar. Pemerintah jangan hanya menggunakan mereka (elit informal) sebagai “alat pemadam kebakaran belaka”. Bahkan di era reformasi dewasa ini, peran para elit informal dapat dikatakan mengalahkan peran tokoh formal dalam pemerintahan.
Pada era globalisasi dewasa ini, elit informal memiliki akar dan pengaruh yang kuat di antara OAP dan benar-benar tampil secara dominan, tidak saja di ruang budaya, ekonomi, bahkan politik kekuasaan (contoh: Benny Wenda sebagai bagian dari pada Diaspora Papua).
Pemerintah baik pusat maupun daerah telah banyak belajar dari pengalaman dan realitas masa lalu bahwa pembangunan yang sentralistik dan tidak memperhatikan tradisi, budaya, serta kearifan lokal di Papua, melahirkan berbagai macam friksi bahkan konflik dari para elit lokal dan komunitas OAP melawan pemerintah (lihat Tabel).
Tabel: Peranan Aktor Dalam Proses
Transformasi Ekonomi dan Politik di Papua
NO. |
AKTOR TRANSFORMASI |
NEGARA |
PEMILIK MODAL |
ORANG ASLI PAPUA (OAP) |
KETERANGAN |
(1) |
(2) |
(3) |
(4) |
(5) |
(6) |
1. |
Rezim Pemerintah |
Otoriter, birokratis, sentralistik, represif & dominan. |
Memperoleh keuntungan politik, ijin (lisensi), kepastian keamanan dan stabilitas daerah terjaga. |
Masyarakat lokal Papua (desa, adat) tersingkirkan dan mengalami krisis demokrasi, penegakan hukum dan otonomi yang diberikan kepada daerah tidak berjalan. |
|
2. |
Pembangunan |
Dominan dalam perencanaan, implementasi & mobilisasi. |
Memperoleh keuntungan proyek mulai dari skala kecil, menengah dan besar. |
OAP adalah objek dan korban pembangunan karena pembangunan tidak berakar pada budaya dan lokalitas daerah serta tidak Tematik, Holistik, Integratif, Spasial dan Sustainable (THISS).
|
|
3. |
Industrialisasi |
Menjual regulasi & lisensi serta melindungi para pemilik modal. Para “broker” memperoleh keuntungan (upeti) |
Pemilik modal memperoleh keuntungan ekonomi dan politik yang sangat besar. ( PT. Freeport Indonesia, BP Tangguh dll). |
OAP hanya memperoleh “ampas” (sisa-sisa) dari pada pemilik modal & tetap tersingkirkan dari tanah ulayat mereka. |
|
4. |
Era Reformasi & Transisi Desentralisasi serta Otonomi Khusus. |
Negara membuka ruang demokrasi & desentralisasi serta kewenangan dalam Otonomi Khusus. Tetapi kewenangan masih tetap terpusat. |
Pemilik modal menghadapi ketidakpastian hukum & politik serta tantangan dari masyarakat OAP yang memiliki hak ulayat. |
OAP memperoleh ruang politik & demokrasi yang terbuka. Tetapi Reformasi dan Otonomi Khusus bagi OAP belum membuahkan transformasi ekonomi, politik & kewenangan khusus secara mendasar sesuai UU Otsus. |
|
Dimasa era Orde Lama maupun Orde Baru (lihat Tabel diatas), “exercise of power” (pelaksanaan kekuasaan) digunakan untuk kepentingan sendiri atau kelompok ( tidak untuk rakyat).
Di era kepemimpinan Presiden Jokowi yang di munculkan adalah Servant Leader ( Pemimpin yang Melayani) dan “sebagai pendobrak yang militan” dalam mengatasi dan merobah budaya birokrasi pemerintah yang berbelit-belit serta menelan biaya tinggi maupun waktu tunggu yang lama dalam hal perijinan, sertifikat tanah dan lain-lain.
Mudah-mudahan dalam periode 2019-2024 Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin memiliki komintmen yang sama yaitu sebagai pemimpin yang melayani maupun “sebagai pendobrak yang militan” dalam mengubah birokrasi yang “bertele-tele” untuk pembangunan Indonesia yang kita cintai bersama.
Nurcholish Madjid dalam bukunya INDONESIA KITA (Universitas Paramadina Jakarta, 2003, hal. 98), mengatakan: “Demokrasi mengharuskan adanya sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai antara sesama warga masyarakat".
Dibawah pertimbangan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan umum, demokrasi tidak membenarkan adanya sikap all or nothing (semua, atau tidak), take it or leave it (ambil, atau tinggalkan), yaitu sikap serba kemutlak-mutlakan. Sebaliknya, seperti dalam Kaedah Fiqih Islam, yang berlaku ialah “yang tidak semua bisa didapat, tidak semua harus ditinggalkan.”