Memaknai Kewenangan Khusus Otonomi Papua Sebagai “One Country Indonesia” Dengan Dua Sistem

Freddy Numberi/Istimewa

Masyarakat Papua patut berterima kasih kepada Pemerintah RI, bahwa meskipun Otsus Papua baru lahir pada tahun 2001, tetapi kebijakan negara ini lahir dari suatu proses yang cukup panjang sejak 1 Mei 1963. Akhir-akhir ini terjadi perdebatan mengenai mengapa hanya dua pasal dalam Undang-Undang Politik ini yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua  atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Pemerintah RI menyepakati Undang-Undang Politik ini sebagai suatu jalan tengah dan kompromi politik untuk menyelesaikan segala persoalan Papua di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM.

Didalam naskah rancangan tersebut hanya memuat Pasal 34 tentang sumber-sumber penerimaan dan Pasal 76 tentang Pemekaran Daerah Menjadi Provinsi-Provinsi.

Kalau mengacu pada Kewenangan Khusus Provinsi Papua yang diatur dan diamanahkan dalam Pasal 4 UU Otsus 21 Tahun  2001, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama dan peradilan.

Maka diluar 5 (lima) kewenangan yang dikecualikan diatas adalah Kewenangan Khusus Provinsi Papua.

Terhadap Kewenangan Khusus  tersebut, jika terjadi revisi atas pasal-pasal yang menjadi ranah Kewenangan Khusus, maka pasal 77 UU ini mengamanahkan bahwa: Usul perubahan atas Undang-Undanag ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR RI, atau Pemerintah Pusat sesuai dengan Perundang-undangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang diatur ini mirip dengan model pemerintahan berbentuk “satu negara dua sistem. Dan tentunya tidak sama seperti Hongkong dan China, namun lebih mengarah kepada sitem  Indonesia yang mengatur Otonomi Khusus karena kekhususan yang dimiliki Tanah Papua. Provinsi-Provinsi di Tanah Papua bukan wilayah koloni, namun memberdayakan provinsi-provinis terbsebut harus sesuai dengan Kewenangan Khusus Otonomi Papua. 

Dengan demikian, maka turunan dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua harus dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), dengan memperhatikan dan mempertimbangkan Kewenangan Khusus ini. Karenanya Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi harus bisa merumuskan Kewenangan Khusus  ini dalam penjabarannya pada rancangan PP tersebut.

Pemerintah Pusat tentu akan mempertahankan kendali terhadap perkembangan di Provinsi-Provinsi yang ada di Tanah Papua. Tetapi harus  dengan Peraturan Pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan Kewenangan Khusus yang diberikan. Sehingga turunan UU Otsus Revisi II ini dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) maupun Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dapat sejalan dengan strategi dan kebijakan Pemerintah Pusat.

Ada banyak contoh negara-negara di dunia yang menggunakan model “satu negara dua sistem” ini, karena menghindari konflik yang berkepanjangan di masa lalu (Israel-Palestina, Korea Utara, China-Hongkong, Irlandia Utara) Tanah Papua juga sama. Setelah kembali ke NKRI 1 Mei 1963 masih saja terjadi konflik dan juga ada kelompok ekstrim yang ingin merdeka, pisah dari Indonesia.

Pemahaman ekstrim yang ingin merdeka seperti ini harus dijawab dengan Kewenangan Khusus dalam kerangka Otonomi Khusus Papua yang betul-betul terimplementasi dengan baik, karena didukung Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan yang jelas “tidak mengebiri” Kewenangan Khusus yang di berikan kepada Provinsi-Provinsi di Tanah Papua. Dengan demikian pemahaman ekstrim ini akan lenyap/hilang dari bumi Cendrawasih karena OAP sejahtera dan makmur.

Spirit “one nation two system atau onetwosys” (baca wantusis) telah menjiwai Otonomi Khusus di Tanah Papua dalam bingkai NKRI. Oleh karena itu perlu keterbukaan dan keikhlasan untuk memberi Kewenangan Khusus dalam membangun Tanah Papua yang kita cintai bersama sebagai tanah yang damai.

Presiden RI Ir. H. Joko Widodo mengatakan bahwa UU Otsus Revisi II ini harus berintikan:

  1. Semangat untuk membangun tanah Papua dalam bingkai NKRI. Semangat membangun ini harus aspiratif dari Orang Asli Papua (OAP), bukan dari Jakarta;
  2. Harus melalui konsultasi publik, berarti ada evaluasi sebagai dasar merevisi UU tersebut sebelum  masuk ke PANSUS DPR RI;
  3. Terbuka untuk dibahas bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh agama, akademisi dan para intelektual serta generasi milenial Papua, untuk memantapkan rasa ikut memiliki (ownership) UU Otsus Revisi II ini, sebelum diteruskan ke DPR RI atau Pemerintah Pusat.

OAP sangat yakin bahwa melalui Otsus Revisi II, Papua pasti aman, damai, adil, sejahtera dan menghormati HAM di bawah leadership Presiden Jokowi.

 

*Oleh Ambassador Freddy Numberi, Ketua Umum FORSEMI Papua