UU 21/tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua merupakan Undang-Undang Politik yang awalnya melibatkan seluruh masyarakat Papua (tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, akademisi dan para intelektual serta generasi milenial) dalam pembahasan maupun penyusunannya, sehingga lahirlah UU Otsus 21/tahun 2001 tersebut. Pada tataran hubungan internasional maupun nasional UU Politik ini berpengaruh karena kasus kembalinya Papua ke NKRI melibatkan banyak negara didunia, terutama PBB, AS, Belanda dan Inggris
Kewenangan khusus Provinsi Papua diatur dan diamanatkan dalam pasal 4 UU Otsus 21/tahun 2001, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama dan peradilan. Di luar kewenangan tersebut diatas, maka seluruh kewenangan khusus adalah kewenangan Provinsi Papua.Dengan demikian Pemerintah Pusat hanya memiliki 5 (lima) kewenangan sesuai amanat pasal 4 UU Otsus 21/tahun 2001 tersebut.
Bung Karno, berkata: “Bangsa Indonesia dimasa depan harus bersatu dalam realitas yang berbeda, baik ras, suku dan agama, justru akan menumbuhkan gairah nasionalisme atas nama bangsa dan negara.” (Sulaiman Effendi, 2014:hal. 171)
Ini perlu dipahami oleh masyarakat Papua, Pemerintah Daerah di Papua, Pemerintah Pusat termasuk anggota parlemen baik di DPRP maupun DPR RI, bahwa kewenangan khusus ini tidak dapat di kebiri oleh siapapun di NKRI tercinta dengan menggaris bawahi apa yang dikatakan Bapak Proklamator Bung Karno diatas. Bahwa dengan kewenangan khusus ini justru menumbuhkan gairah nasionalisme Indonesia di Tanah Papua. Kecuali UU Otsus 21/tahun 2001 itu diamandir atau direvisi seluruhnya.
Pasal 77 UU Otsus 21/tahun 2001 mengamanatkan bahwa: “Usul perubahan atas Undang-Undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR RI atau Pemerintah sesuai dengan perundang-undangan.”
Bila dianalisis lebih jauh maka masalah Dana Otsus adalah kewenangan Pemerintah Pusat sesuai amanat pasal 4 UU Otsus/tahun 2001.Tetapi masalah pemekaran Provinsi Papua sesuai pasal 77 UU Otsus 21/tahun 2001 adalah kewenangan daerah Provinsi dan tidak bisa di intervensi atau di ambil alih Pemerintah Pusat termasuk anggota DPR RI atau DPD RI. Ini adalah hak aspiratif masyarakat Papua, sehingga sangat disayangkan bila terkesan Pemerintah Pusat memaksa kehendak (baca otoriter).
Gus Dur Sang Bapak Pluralisme dan Demokrasi Indonesia, mengatakan: “Pluralisme berintikan semangat memaklumi segala perbedaan untuk kebaikan dan kemajuan bersama.” (M. Hamid, 2014: hal. 78)
Bukan zamannya lagi Pemerintah bertindak otoriter seperti zaman Orde Baru dulu. Ini adalah era reformasi dan keterbukaan dalam alam demokrasi untuk membangun Papua dalam bingkai NKRI, seperti yang dikatakan Gus Dur diatas, harus ada semangat untuk memaklumi bahwa kewenangan khusus yang diberikan kepada Papua adalah untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Pada butir Menimbang huruf f UU Otsus 21/tahun 2001, Pemerintah Pusat dengan gamblang dan jelas menyatakan bahwa selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan dan seterusnya.
Bila pemekaran diintervensi oleh Pemerintah Pusat, maka dimana rasa keadilan Pemerintah Pusat terkait amanah pasal 4 dan pasal 77 UU Otsus 21/tahun 2001 tersebut???
Pemekaran seharusnya menjadi usul perubahan dari masyarakat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR RI atau Pemerintah Pusat sesuai amanah pasal 77 UU Otsus 21/tahun 2001. Janganlah di kebiri kewenangan khusus Provinsi Papua ini, seharusnya kewenangan khusus ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan turunannya yaitu Perdasus dan Perdasi serta diawasi pelaksanaannya dengan baik sehingga sejalan dengan keinginan Pemerintah Pusat.
Sejalan dengan Bung Karno Sang Proklamator maupun Gus Dur, Presiden RI Ir. H. Joko Widodo mengatakan bahwa UU Otsus Versi II ini harus berintikan:
- Semangat untuk membangun tanah Papua dalam bingkai NKRI. Semangat membangun ini harus aspiratif dari Orang Asli Papua (OAP), bukan dari Jakarta;
- Harus melalui konsultasi publik, berarti ada evaluasi dasar merevisi sebelum masuk ke PANSUS DPR RI;
- Terbuka untuk dibahas bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh agama, akademisi dan para intelektual serta generasi milenial Papua, untuk memantapkan rasa ikut memiliki (ownership) UU Otsus Versi II ini, sebelum diteruskan ke DPR RI atau Pemerintah Pusat.
Sekali lagi kewenangan khusus Otsus Papua sesuai amanah pasal 4 dan pasal 77 UU Otsus 21/tahun 2001 “jangan di kebiri”, karena OAP cinta NKRI dan OAP juga cinta Tanah Papua. Biarlah mengalir sesuai dengan proses yang alami seperti yang digaris bawahi Presiden Jokowi diatas. OAP sangat yakin bahwa melalui Otsus Versi II tanpa dikebiri, Papua pasti aman, damai, adil, demokratis, sejahtera dan menghormati HAM.
Dominee Izaak Samuel Kijne, bernubuat: “ . . . . . Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” (Bukit Aitumeri, 25 Oktober 1925 Memimpin diri sendiri dalam konteks Otonomi Khusus dengan Kewenangan Khusus yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian integral dari NKRI.
* Ambassador Freddy Numberi, Ketua Umum FORSEMI Papua