Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua merupakan kompromi politik pada hubungan internasional, serta jalan tengah dari upaya pemerintah Republik Indonesia mengatasi akar masalah yang timbul di masa lalu. Rezim pemerintah silih berganti, namun persoalan-persoalan di Papua tidak diselesaikan dengan baik dan tuntas serta sering mengundang kritikan dari luar negeri.
Contoh yang paling kasat mata adalah pelanggaran HAM. Sebagai bangsa kita sedih bahwa hal itu masih terjadi, namun di fora internasional jangan kita menafikan hal itu dengan mengatakan bahwa kita memiliki cara-cara kredibel untuk menyelesaikan hal itu, tetapi kenyataan hanya “omong kosong” bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
Kita harus “ Low Profile” dengan bijak mengatakan bahwa kita masih terus berusaha mengatasi masalah pelanggaran HAM ini dan butuh waktu. Pengalaman Timor Timur, Rwanda dan Kosovo seharunya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam hal berbangsa dan bernegara, karena kita cinta Papua, kita cinta Indonesia.
John Andrews dalam bukunya “The World in Conflict, understanding the World’s Trouble Spots” (London,2015: hal. 245), Mengatakan “ Orang Papua yang telah meninggal akibat operasi militer selama setengah abad adalah 500.000 ( lima Ratus ribu) orang”.
Hal ini mengindikasikan kepada kita perlu lebih hati-hati dalam melaksanakan operasi militer di Papua sesuai dengan adanya konflik sipil dalam suatu negara (infra-state Indonesia). Sebagai anggota PBB, Indonesia seharunya mengubah pendekatan keamanan di Papua menjadi pendekatan keamanan manusia sesuai dengan yang diamanatkan oleh resolusi PBB nomor 14/128 tanggal 4 Desember 1986. Jangan tergesa-gesa dan terkesan memaksa kehendak (baca otoriter) oleh pemerintah pusat dalam merealisir Otsus Versi II ini.
Perlu ditinjau kembali apakah sudah mengakomodasikan 12 (dua belas) kekhususan tadi dalam Otsus versi II, sehingga tidak menjadi “boomerang” bagi pemerintah di kemudian hari. Arahan Presiden RI Ir. H. Joko Widodo bahwa UU Otsus Versi II harus berintikan:
- Semangat untuk membangun Tanah Papua dalam bingkai NKRI.
- Harus melalui konsultasi publik yang di lakukan oleh PANSUS DPR RI melalui Ketua Pansus Sdr. Komarudin Watubun (PDIP).
- Terbuka untuk dibahas bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh perempuan dan generasi milenial Papua untuk lebih memantapkan rasa memiliki (ownership) dari UU Otsus Versi II tersebut.
Dalam diskusi di DPR RI terungkap bahwa baik Pansus DPRP Papua maupun DPRP Papua Barat menyarankan adanya suatu Badan Pengelola Otsus Versi II ini dan berada langsung dibawah Presiden Jokowi. Dengan demikian tidak perlu ada “desk Papua” pada Kementerian terkait karena telah dilebur dalam Badan Pengelola Otsus Versi II ini .
Partai Lokal tidak perlu ada, namun dalam DPRP harus ada Fraksi Otsus yang mewarnai partai lokal tersebut. Kewenangan-kewenangan khusus harus diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), agar turunannya dalam bentuk Perdasi maupun Perdasus sejalan dengan semangat untuk membangun Tanah Papua yang aman, damai, adil, demokratis, sejahtera dan menghormati HAM.
Orang Asli Papua yakin bahwa dibawah kepemimpinan Presiden Ir. H. Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’Aruf Amin pasti terjadi banyak perubahan-perubahan di Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai bersama.*
*Ketua Umum FORSEMI Papua Ambassador Freddy Numberi, Laksamana Madya TNI (purn)