JAYAPURA,-Jelang akhir masa jabatannya menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2019, Presiden Joko Widodo belum juga memenuhi janjinya pada tanggal 26 Desember 2014 di Stadion Mandala-Jayapura untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di Tanah Papua hingga saat ini.
Sepeninggal peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang Berat di Lapangan Zakeus-Enarotali-Kabupaten Paniai-Provinsi Papua tanggal 8 Desember 2014, dalam malam perayaan Natal Nasional saat itu di Jayapura-Papua.
Saat itu, Jokowi selaku Kepala Negara Republik Indonesia memberi "janji" bahwa dirinya akan melakukan 2 (dua) hal, yaitu : pertama menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang Berat di Tanah Papua, termasuk kasus Paniai, dan juga melakukan dialog dengan rakyat Papua.
Sekarang sudah 3 (tiga) tahun 2 (dua) bulan berjalan waktu, Presiden Jokowi belum juga mampu mewujudkan janjinya tersebut dan belum mampu pula memenuhi harapan dan keinginan rakyat Papua untuk memperoleh keadilan dari negara yang senantiasai dikdepankan oleh Jokowi dalam berbagai langkah pendekatannnya ke Tanah Papua. Ini dikatakan Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitia, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Cristian Warinusy kepada wartaplus, Minggu (25/2) siang.
Dikatakannya, sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitia, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, dirinya memandang bahwa seharusnya Presiden Jokowi menempatkan langkah-langkah penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua pada prioritas utama di sisa waktu tahun pemerintahannya saat ini, tepatnya di tahun 2018 ini.
"Berkenaan dengan itu, sebaiknya Presiden Jokowi dapat segera bertemu dan berdialog dengan para aktivis Pembela HAM dari Tanah Papua dan seluruh pemangku kepentingan soal-soal penegakan hukum dan HAM, baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat. Termasuk Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Provinsi Papua,"ujar peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM " John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005.
Kata dia tujuannya penting untuk mengkritisi dan sekaligus mengkaji bersama langkah-langkah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua sesuai ketentuan perundangan yang berlaku serta sesuai amanat instrumen penegakan hukum dan HAM yang berlaku universal.
Bagaimanapun permasalahan pelanggaran HAM di Tanah Papua telah menjadi isu dan mendapat perhatian dunia internasional dewasa ini, sehingga penyelesaiannya jelas harus menjadi perhatian dan keperdulian dari seoang Presiden Jokowi saat ini.
"Saya yakin jika Presiden Jokowi dapat memulai langkah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua seperti kasus Wasior (2001), kasus Wamena (2003) dan enarotali-Paniai (2014), maka dukungan rakyat akan makin tinggi dan turut mempengaruhi elektabilitas Presiden Jokowi jelang Pilpres 2019 mendatang. Sekaligus bakal memperbaiki citra Indonesia sebagai Negara di dunia internasional saat ini,"ujarnya.
Presiden dan jajaran pemerintahannya tidak perlu merasa kuatir dan ragu dalam mendorong penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua tersebut, karena sebenarnya negara ini sudah memiliki mekanisme penyelesaian yang sudah diatur di dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM serta Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua.
Lanjutnya, salah satu langkah penting yang mesti dijalankan oleh Presiden Jokowi sekarang adalah segera memerintahkan dibentuknya Pengadilan HAM di Jayapura-Papua sebagai perwujudan dari amanat Pasal 45 ayat (2) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otsus tersebut.
Dengan demikian maka segenap proses penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana halnya kasus Wasior, Wamena dan Paniai dapat ditindak-lanjuti secara hukum hingga diadili di pengadilan HAM di Jayapura tersebut, demi memenuhi kepastian hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Papua, khususnya Orang Asli Papua. [Roberth]