JAYAPURA,wartaplus.com - Hampir memasuki 5 tahun (2016-2021), kami masayarakat Suku Wally Kampung Nendali di bawah kepemimpinan Ondofolo Hokhoi Thembu Yan Pieter Ebha Wally, seperti pengemis memohon ganti rugi atas kepemilikan tanah adat kami yang di pakai untuk pembangunan Stadion Lukas Enembe yang megah, apalagi tinggal menghitung hari pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XX akan digelar.
“Tanah ulayat kami yang dulunya adalah tanah kebun nenek moyang kami, kini telah menjadi lahan bangunan monumental dan bersejarah yang akan dikenang oleh seluruh orang Papua dan bangsa Indonesia sebagai bangunan sejarah, semua orang yang terlibat baik sebagai penggagasnya maupun yang telah membangun monument ini akan dikenang sebagai bagian dari sejarah yang membanggakan, sedangkan kami pemilik tanah ulayat ini tidak akan dikenal,”ujar Kepala Suku Enabhu Erik Wally ke ondoafi Hokhoi Thembu Kampung,”ujarnya, Sabtu(12/6/2021) malam.
Dikatakan, upaya kami dalam menuntut hak kami sesuai Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No, 5 tahun 1960 dan peraturan tambahan lainnya seperti manabur garam di air laut, mulai dari tahun 2016 ketika Pemerintah dan pelaksana proyek datang di para- para Adat (OBHE) kami dan meminta ijin pembangunan, yang pada saat itu kami menginjinkan dengan asumsi bahwa sambal ganti rugi sesuai perintah undang-undang dilaksanakan. Akan tetapi sampai saat ini baik pemerintah maupun pelaksana tidak pernah kembali lagi ke para-para adat kami untuk melaksanakan kewajiban mereka.
Berbagai upaya yang kami lakukan seperti tidak dihiraukan, mulai dari surat kami pada Pemerintah Provinsi Papua, Panitia Besar (PB) PON ke XX, DPR Papua sampai hari ini tidak ada jawaban, jangankan negosiasi atau komunikasi, tanggapan terhadap surat tersebut saja tidak pernah ada, kami seperti
masyarakat (warga) lain didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Sempat ada selentingan bahwa tanah ulayat tersebut sudah dibayar, tetapi dapat kami pastikan bahwa kami masyarakat kampung Nendali Ondofolo Hokhoi Thembu belum pernah menerima ganti rugi tersebut, karena itu kami telah siap untuk melakukan pengambilan kembali tanah leluhur kami yang telah dirampas dengan semena-mena oleh Pemerintah, kami memang cuma masyarakat miskin dipinggiran danau Sentani yang mungkin bukan warga negara Indonesia sehingga warisan kami bisa dirampas oleh pemerintah dengan seenaknya dan mengatas namakan undang-undang melegalkan status tanah tersebut sebagai tanah negara,“tandasnya.
Dikatakan, karena itu kami telah siap untuk melakukan pemalangan penyegelan stadion Papua Bangkit tersebut sampai hak kami diselesaikan.Kami juga telah menyiapkan laporan kami tentang perampasan Tanah Ulayat kami ini dan akan kami sampaikan kepada Kapolri melalui yang terhormat
Kapolda Papua, agar perampasan yang dilakukan ini bisa dipertanggung jawabkan.
“Hari ini kami sudah tidak bicara ganti rugi lagi, sebab waktu untuk bicara ganti rugi sudah selesai, harga diri kami sudah terinjak-injak dengan perlakuan yang sewenang-wenangnya, hari ini kami hanya meminta Hak Ulayat kami dikembalikan seperti semula ketika pemerintah dan pelaksana datang meminta ijin untuk pembangunan, atau kami hanya minta bangunan Stadion yang telah dibangun itu di pindahkan ke tanah yang telah mereka bayar, kembalikan tanah kami seperti semula untuk kami pakai berkebun untuk menghidupkan generasi penerus kami ke depan. Karena itu mulai minggu depan seluruh aktifitas kegiatan didalam stadion itu mohon dihentikan dan tinggalkan, sampai nanti bangunan itu dipindahkan,”tegasnya.
Semoga semua pihak yang berkompoten memahami dan mau berbaik hati untuk ikut menyelesaikan masalah kami ini, karena anak-anak kami tidak bisa makan dari bangunan itu, kecuali warisan kami dikembalikan dan kami tanam makanan untuk anak cucu kami diatas tanah ulayat kami tersebut.*