Oleh: Ambassador Freddy Numberi Founder Numberi Center
Latar Belakang Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan antara pihak Belanda dan Indonesia 23 Agustus – 2 November 1949 menghasilkan antara lain: Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai sebuah negara yang merdeka. Pengakuan kedaulatan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
Keresidenan Nieuw-Guinea (residentie Nieuw-Guinea) diberikan statusquo, berarti tetap di bawah Belanda dan akan diserahkan satu tahun kemudian yaitu pada tanggal 27 Desember 1950. (sumber: Rapport van de Commissie Nieuw-Guinea, 1950-Buku I:hal.3)
Alasan Belanda:
Pada tanggal 7 Juni 1949 (sebelum masuk ke KMB), J.H.van Maarseven, Menteri Luar Negeri dan Urusan Seberang Lautan Belanda di depan Dewan Menteri Belanda mengajukan 4 (empat) argumen agar Nieuw-Guinea harus dipertahankan oleh pemerintah Belanda:
(1) Indonesia tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap koloni Nieuw Guinea, dan hal itu hanya dimiliki Belanda, sehingga peluang untuk koloni Nieuw-Guinea berkembang hanya di bawah Belanda, dari pada di bawah Indonesia.
(2) Harus dipertahankan sebagai daerah pelarian (toevluchtsoord) bagi mereka yang keluar dari Hindia-Belanda.
(3) Melalui KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) bila di Belanda kepadatan penduduk (overbevolkte Nederland) dapat bermigrasi ke Nieuw-Guinea.
(4) Untuk kepentingan militer jangka panjang dengan dibangunnya pangkalan Angkatan Laut Belanda disana di Nieuw-Guinea. (sumber: John Jansen van Galen, Afscheid van de Koloniën, Het Nederlandse dekolonisatie beleid 1942-2010)
Dari empat argumen di atas, ternyata hanya 2 (dua) yang valid, yaitu: • Nieuw-Guinea sangat tertinggal dalam pembangunan, hal ini merupakan kelalaian Belanda sendiri sejak pemerintah Belanda mendirikan pos pemerintahan di Manokwari (Pos ke-II) tahun 1898 dan Pos ke-III di FakFak pada tahun yang sama. Belanda hampir tidak melakukan apapun terhadap Nieuw-Guinea. (sumber: Drs. H.Eggink, De Aardrijkskunde van Nieuw-Guinea, 1956:hal.33) 2/4
• Setelah kehilangan Hindia Belanda di mana Nieuw-Guinea diberi status-quo baru Belanda mulai memacu pembangunan pendidikan, perawatan medis/kesehatan, penyuluhan pertanian dan mendirikan beberapa industri skala kecil di tahun 1950-an, dengan menerapkan kolonialisme etis (ethisch kolonialisme). Tindakan kolonialisme etis ini, karena Belanda merasa bersalah kepada rakyat Nieuw-Guinea dengan pendekatan “smiling policy” (policy senyum). Hal ini didasari bahwa pendekatan kekerasan di Hindia Belanda, yang mengakibatkan Belanda kehilangan wilayah Hindia Belanda ini untuk selamanya. Ahirnya pendekatan kekerasan yang dibangun pihak Belanda tersebut mengimpartasi aparat keamanan Indonesia yang akhirnya menjadi budaya kekerasan terhadap rakyatnya sendiri, rakyat Indonesia. (sumber: Els Bogaerts en Remco Raben, Van Indië tot Indonesië, Amsterdam, 2007:hal.35)
2. Pidato Ratu Juliana 20 September 1960
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, ternyata Belanda pada akhirnya mengkhianati perjanjian KMB 1949. Pada tahun 1950 dengan berbagai macam alasan Belanda tidak mau mengembalikan Keresidenan Nieuw-Guinea kepada pemiliknya yang sah yaitu Indonesia sesuai perjanjian KMB 1949 dan prinsip internasional uti possidetis juris (teritori dan properti lainnya kembali kepada pemiliknya yang sah sesuai semula).
Bung Karno meskipun “berang” tetapi masih melakukan pendekatan secara rasional dan bijak melalui PBB agar Keresidenan Nieuw-Guinea dibahas melalui PBB sejak tahun 1954, 1955, 1956 dan 1957. Namun semuanya tidak berhasil alias gagal. Di sisi lain Belanda didasari kepentingan politiknya maka Papua disiapkan seolah-olah menuju penentuan nasib sendiri (zelf beschikking recht), yang dibungkus politik Dominion Belanda dengan nomenklatur provinsi seberang lautan yang statusnya relatif sama seperti Suriname, Curacao, Bonaire, Aruba, St.Martin, St.Eustatius dan Saba di bawah Kementerian Luar Negeri dan Urusan Seberang Lautan Belanda. Dengan demikian Belanda dalam kepentingan politik dan ekonominya memiliki 2 (dua) wilayah pijakan, yaitu di belahan bumi bagian Barat (Suriname dll) sedangkan di belahan bumi bagian Selatan (kawasan Pacific) adalah Nederlands Nieuw-Guinea. (sumber: C.J. Franssen et al, Staats Inrichting van Nederland en Nederlandsch-Indië, 1930:hal. 175-176) Pidato Ratu Juliana pada tanggal 20 September 1960, mengatakan: “In the coming years Netherlands New Guinea will enter an important new phase in its development towards self determination”. (sumber: Information Department of the Netherlands Ministry for the Interior, 1961:hal. 3) 3/4
3. Penutup
Dari aspek tata pemerintahan, Belanda mempermainkan dengan frasa pada sebutan Netherlands Nieuw-Guinea yang sebelumnya hanya Nieuw-Guinea saja. Hal ini mengandung makna terselubung yang sangat berbeda secara signifikan. Bila hanya Nieuw Guinea sebagai koloni, maka secara ab initio milik Indonesia. Namun jika kemudian nomenklaturnya diubah menjadi Nederlands Nieuw Guinea berarti koloninya adalah Dominion Nederland di seberang lautan, makanya memiliki mata uang yang disebut Nederlands NieuwGuinea Gulden, bukan lagi Nieuw-Guinea Gulden.
Begitu cerdiknya politik Belanda pada waktu itu, sehingga banyak orang Papua baik dahulu maupun saat ini memiliki pemahaman yang salah terhadap status Papua. Tidak heran, dengan pemahaman yang yang salah tersebut, ada sekelompok kecil menginginkan Papua untuk merdeka. Obsesi penulis melalui tulisan ini, dengan daftar referensi yang jelas dapat menyempurnakan anatomi sejarah Papua yang selama ini hilang dari sejarah Indonesia.
Maknanya, jika dibawah prinsip internasional “uti possidetis juris” bila Belanda memberikan kemerdekaan bagi Papua itu adalah tindakan separatis terhadap Indonesia. (sumber: John Saltford, The United Nations and The Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969, The anatomy of betrayal, 2003:hal.8) Kepentingan politik Belanda ini terbukti di mana Gubernur Provinsi Nederlands Nieuw-Guinea J.P.Plateel mengeluarkan Gouvernementsblad (Keputusan Gubernur) nomor 68 dan 69 tentang Lands Vlag (Territorial Flag/Bendera Tanah/Budaya) dan Volks Lied (Lagu Rakyat). Hal ini kemudian dicatat dalam Gouvernementsblad (Lembaran Daerah) bukan Staatsblad (Lembaran Negara). Ini juga tidak ditandatangani oleh Ratu Juliana. Berarti secara hukum status teritori tersebut adalah bukan sebagai negara tetapi sebagai Provinsi Nederlands Nieuw-Guinea milik Belanda di seberang lautan. (sumber: Richard Chauvel, Constructing Papuan Nationalism, 2005:hal.24)
Pandangan Indonesia yang benar adalah, Papua secara politis merupakan teritori yang masuk dalam jajahan pemerintah Hindia Belanda sejak 24 Agustus 1828. Karena sejak 24 Agustus 1828, Raja Willem I melalui naskah proklamasi mengklaim bahwa secara de facto maupun de jure teritori Papua ini milik pemerintah Belanda (sumber: Dirk Vlasbom, Papoea Een geshiedenis, 2004:hal. 61), kemudian kontrol pemerintahan atas koloni ini dimasukkan dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Presiden Soekarno mengakui akan keunikan dan keanekaragaman budaya Papua dan berjanji akan ada keistimewaan bagi teritori ini dalam struktur Negara Indonesia. Berdasarkan konstitusi Indonesia, Papua akan diberikan otonomi daerah yang luas seperti bagian Indonesia lainnya (sumber:Justus Maria Van Der Kroef, The West Guinea Dispute, 1958:hal. 10).
Malah dewasa ini telah diberikan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 21 November 2001. Satu-satunya validitas (kekuatan hukum) dalam pendekatan Belanda dan Indonesia adalah unsur historis dalam tuntutan Indonesia bahwa secara fakta teritori koloni keresidenan Nieuw-Guinea (Irian Barat) adalah bagian dari entitas politik yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda dan bahwa teritori ini secara administratif diperintah oleh Batavia (Jakarta).
Terlepas dari latar belakang yang lainnya, dalam pembahasan sebelumnya, maka Republik Indonesia berhak memposisikan dirinya sebagai penerus konstitusi yang sah atas seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda secara ab initio. (sumber:Justus Maria Van Der Kroef, The West Guinea Dispute, 1958:hal.11)
Keseriusan dan tanggung jawab Indonesia dalam meneruskan posisi sebagai penerus konstitusi yang sah atas seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda secara ab initio, dapat penulis gambarkan melalui catatan sejarah yang hilang untuk eksistensi Otonomi Khusus Papua yang sekarang lagi hangat diperdebatkan, bahwa :
• Ada 11 (sebelas) nilai kekhususan didalam Undang-Undang Otsus ini sebagai jawaban terhadap kompleksitas permasalahan yang kusut dimasa lalu;
• Bila Undang-Undang Otsus versi II tidak mengakomodasikan 11 (sebelas) nilai kekhususan ini, maka Undang-Undang Otsus versi II bukan merupakan Undang-Undang Otonomi Khusus lagi. Dengan demikian disamping pelurusan sejarah yang secara gamblang telah dijelaskan oleh penulis, maka pada kesempatan ini penulis juga menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali mengenai 11 (sebelas) kekhususan yang harus di akomodasikan dalam Undang-Undang Otsus versi II tersebut. Hal ini untuk menghindari dampak buruk dikemudian hari. Presiden Soekarno (Sang Proklamator Indonesia) berpesan kepada anaknya Megawati Soekarnoputri: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (sumber: Zulfa Simatur, 2013:hal 143) Jakarta, 19 April 2021.*