Legislator Papua Ungkap Bahaya Radikalisme

Wakil Ketua Komisi I DPR Papua, Tan Wie Long/Istimewa

JAYAPURA,- Belum lama ini, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) RI, Budi Gunawan mengatakan, berdasarkan investigasi yang telah dilakukan di 2017 lalu, sekiranya 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar radikalisme. ​​

Tidak hanya itu, sebanyak 15 provinsi di Indonesia telah menjadi perhatian serius terkait adanya pergerakan radikalisme, sehingga hal ini pun dikhawatirkan mengancam stabilitas keutuhan NKRI.

Oleh sebab itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Papua, Tan Wie Long, menilai bahwa setiap isu terkait radikalisme sudah menyangkut keamanan nasional, yang mana mengkhawatirkan keutuhan NKRI, keutuhan Pancasila, UUD 1945, serta pula Bhinneka Tunggal Ika, sehingga pihak keamanan pun harus waspada.

 “Kewaspadaan diperlukan untuk mencegah semakin luasnya penyebaran radikalisme ini. Bila perlu, adanya tindak lanjut dari sisi hukum, terutama bagi oknum-oknum penggerak yang menyebarluaskan pemahaman-pemahaman tidak benar, sehingga hal ini mesti disikapi dengan bijak,” ungkap Tan Wie Long, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (8/5) kemarin.

Meskipun demikian, dirinya menuturkan, bahwa radikalisme secara nasional dan yang terjadi di Papua itu muncul dari latar belakang yang berbeda.

"Kalau berdasarkan pengamatan saya, radikalisme secara nasional adalah terkait dengan agama, sedangkan yang kita lihat di Papua, radikalisme ini lebih condong terhadap persoalan politik,” ujarnya.

Menurut Along sapaan akrabnya, tidak menutup kemungkinan radikalisme dari sisi agama sudah masuk ke Papua. Namun, pada umumnya radikalisme di Papua lebih kearah persoalan politik, sedangkan terkait agama juga ada ditemukan, meskipun sangat kecil.

Lebih lanjut Along menjelaskan, salah satu faktor penyebab radikalisme adalah kesenjangan sosial antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Sebut saja, ketika rakyat sudah merasa lapar, yang mana dari sandang, pangan, hingga papan tidak terpenuhi, ditambah adanya rayuan dengan pemahaman yang dinilai negatif.

"Maka meskipun rayuan tersebut bersifat negatif sekalipun, kalau rakyat tersebut merasa cocok karena merasa diperhatikan, hal ini bisa menjadi satu jalan penyebaran radikalisme yang diterima orang yang dipinggirkan," jelasnya.

Selain itu, ungkap Along, BIN juga harus mampu memberikan sebuah gambaran, terlebih terkait dengan radikalisme yang semakin diterima kaum terpelajar. Hal inilah yang menjadi pertanyaan, yang mana kalau sampai kaum terpelajar lebih mudah menerima radikalisme, maka terdapat sesuatu juga patut dipertanyakan dalam pemerintah di Indonesia pada umumnya.

“Demikian, hal ini menjadi tugas dan tanggung pemerintah dari pusat sampai di daerah, sebagai pemimpin rakyat. Persoalan radikalisme ini memang harus segera dituntaskan, yang mana aktor yang menjadi sumber penyebaran radikalisme ini perlu untuk ditemukan dan ditindak hukum,” tambahnya.

Selain itu, pemerintah pada umumnya juga perlu untuk mengintrospeksi pemerintahannya, yang mana harus ada juga penyelesaian persoalan yang menyangkut rakyat Indonesia.

Persoalan yang mana pemerataan belum secara penuh dirasakan seluruh rakyat Indonesia, terutama rakyat-rakyat kecil.

“Pasalnya, radikalisme ini bersumber dari sudut pandang rakyat yang tidak sepaham, yang mana dianggapnya bahwa terdapat hal yang tidak pas, yang dilakukan pemerintah,” pungkasnya. *