Oleh: Ambassador Freddy Numberi Laksamana Madya TNI (Purn)
“Menata Papua dengan hati adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua sebagai gerbang timur wilayah Indonesia”, kata Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2011.
Hal ini ditegaskan SBY pada periode ke-2 kepemimpinan beliau 2009-2014. (Sinar Harapan 24 Oktober 2011).
Pada saat itu Orang Asli Papua (OAP) mengharapkan ada dialog ke-2 setelah dialog ke-1, tanggal 26 Februari 1999 dengan Presiden RI ke-3 B.J Habibie sebagai embrio lahirnya Otonomi Khusus Papua.
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Pastor Neles Tebai berkoordinasi dengan Menkopolhukam Djoko Suyanto yang hadir dalam Konferensi Perdamaian Papua di Universitas Cendrawasih (UNCEN).
Konferensi dihadiri lebih dari 1000 peserta yang mewakili kelompok masyarakat adat, perempuan, agama, pemuda dan organisasi perlawanan serta masyarakat sipil lainnya dari semua kabupaten di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Namun pintu Jakarta kembali tertutup rapat meskipun sudah ada komunikasi antara Jakarta dan Papua. Mengutip apa yang dikatakan Ed Cohen dalam bukunya “Leaders Without Borders” (2007, halaman 116): What people really want to hear is not about the leaders vision. They want to hear about their own aspirations, they want to hear how THEIR DREAM WILL COME TRUE and THEIR HOPE will be fullfilled. They want to see THEMSELVES in the future that the leader is painting. The very best leaders understand that their key task is inspiring a SHARED VISION, NOT SELLING THEIR OWN IDIOSYNCRATIC VIEW OF THE WORLD”.
Presiden SBY juga mengatakan: “All history results in the results of extra ordinary human efforts”.
Sejalan dengan apa yang dikatakan ED Cohen dan Presiden SBY diatas, Presiden Jokowi pada perayaan Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014 mengatakan: “Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan”.
OAP bersyukur bahwa dalam Paradigma Baru Presiden Jokowi lebih fokus pada pendekatan yang diubah bukan lagi keamanan dengan sasaran dan program-program yang lebih memberi keberpihakannya kepada OAP.
Orang Asli Papua mendambakan ada perubahan besar dan signifikan dalam kehidupan mereka yang lebih sejahtera, adil,damai, demokratis dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia rakyat Papua.
“Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur, manakala dirasakan menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna” (Thoby Mutis, Manajemen Kemajemukan, sebuah Keniscayaan untuk Mengelola Kebhinekaan Manusia Indonesia Visi 2030, Penerbit Universitas Trisakti,2008:halaman 5).
Bermakna bahwa menata pembangunan di Papua untuk kemaslahatan OAP dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus betul-betul punya hati untuk mereka dan jangan pernah curigai mereka, hormati mereka sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia, sehingga menjadi Warga Negara Indonesia memiliki makna bagi OAP.
Jakarta, 22 Maret 2021